Al-Ghazali. Metafisika
Table of Contents
Al-Ghazali |
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
1. Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di alam
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhirat
Menurut Al-Ghazali, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri atas jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali adalah zat (jauhar) dan bukan keadaan atau aksiden (‘ardh) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasad bergantung pada jiwa, bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiah. Ia tidak pre-eksisten, tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato, dan filsuf lainnya. Setiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam alas (alam al-arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. Jiwa memiliki kemampuan memahami sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makna dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan fisik. Sebab, apabila memiliki kemampuan memahami objek-objek fisik lainnya, fisik manusia juga harus memiliki kemampuan memahami bahwa kenyataannya tidak demikian.
Bagi Al-Ghazali jiwa yang berasal dari Ilahi memiliki potensi kodrat, yaitu kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada kekejian. Pada saat lahir, jiwa merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (alam al-malakut atu alam al-amar, Q.S. [17]: 85). Adapun jasad berasal dari alam al-khalaq. Oleh karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Oleh karena itu, jiwa rindu makna alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, tetapi sering diredam keinginan duniawi.
Mengenai kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan dapat menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya. Di sini Al-Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan munculnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa yang mempunyai sifat substansial kekal). Dengan demikian, bantahan Al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya, Tahafut Al-Falasifah, tidak ditekankan pada kekekalan jiwa; yang dibantahnya adalah dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk membuktikan kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya jiwa syara yang dapat menjelaskan persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad sehingga dengan bantuannya, jiwa bisa mendapatkan bekal. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; karena sangat diperlukan oleh jiwa, jasad harus dirawat baik-baik.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Ghazali. Riwayat Hidup
2. Al-Ghazali. Karya Filsafat
3. Al-Ghazali. Pemikiran Filsafat
4. Tipologi Filsafat Al-Ghazali
5. Al-Ghazali. Paham Qadim-nya Alam
6. Al-Ghazali. Paham Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Juz'iyyat
7. Al-Ghazali. Paham Kebangkitan Jasmani
8. Al-Ghazali. Klasifikasi Ilmu
Post a Comment