Al-Farabi. Riwayat Hidup
Table of Contents
Al-Farabi |
Pada masa awal pendidikannya, Al-Farabi belajar Al-Qur’an, tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir, dan ilmu hadits), dan aritmetika dasar. Ia mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain adalah bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzali, mengatakan bahwa ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, tetapi yang ia kuasai dengan aktif empat bahasa: Arab, Persia, Turki, dan Kurdi. Sosok dan pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filsuf Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam sehingga bisa dimengerti dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya berpengaruh besar terhadap dunia Barat.
Pada waktu mudanya, Al-Farabi pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad kepada Abu Bakar Al-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattius ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan Yuhana ibn Hailam. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Tidak beberapa lama, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun. Di kota ini juga ia membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibn ‘Adi, filsuf Kristen.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), Al-Farabi pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham sehari untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa tunjangan jabatan yang diterimanya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus.
Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya Al-Farabi di Damaskus adalah Al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendekiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun, Al-Farabi tinggal di Aleppo dan Damaskus secara berpindah-pindah disebabkan hubungan penguasa kedua kota ini semakin memburuk sehingga Saif Al-Daulah menyerbu Kota Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya. Dalam penyerbuan ini, Al-Farabi diikutsertakan. Pada bulan Desember 950 M (339 H), Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Sepanjang hidupnya, Al-Farabi terbenam dalam dunia ilmu sehingga tidak dekat dengan para penguasa Abbasiyah pada waktu itu. begitu gemarnya Al-Farabi dengan dunia ilmu, ia sering membaca dan menulis di bawah sinar lampu penjaga malam.
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna sehingga filsuf yang datang setelahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M-428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd (520 H/1126 M-595 H/1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya demikian luas mengenai filsafat, terbukti dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles melalui risalahnya Al-Jam’u Baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu. Oemar Amin Husein menyatakan bahwa Ibnu Sina yang membaca 40 kali buku metafisika karangan Aristoteles, bahkan hafal hampir seluruh isi buku itu belum memahaminya. Ia baru memahami filsafat Aristoteles setelah membaca buku Al-Farabi, Tahqiq Ghardh Aristhu Fi Kitab Ma Ba’da At-Thabi’ah, yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles. Pengetahuannya yang mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles, membuatnya dijuluki Al-Mu’allim Al-Tsani (guru kedua), sedangkan Al-Mu’allim Al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles.
Pada Abad Pertengahan, Al-Farabi sangat dikenal sehingga orang-orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan/risalahnya yang disalin dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa.
Al-Farabi hidup pada zaman ketika situasi politik dan kekuasaan Abbasiyah diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan, dan pemberontakan. Al-Farabi lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid (870-829 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti’. Suatu periode yang paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu timbul berbagai macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan berbagai motif: agama, kesukuan, dan kebendaan. Banyak anak raja dan penguasa lama berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan nenek moyangnya, khususnya orang-orang Persia dan Turki.
Akibat situasi politik yang kisruh, Al-Farabi menjadi gemar berkhalwat, menyendiri, dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal. Hidupnya yang tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan pemerintah, pada satu pihak merupakan keuntungan karena Al-Farabi memiliki kebebasan dalam berpikir tanpa harus berusaha menyesuaikan gagasan dengan pola dan situasi politik saat itu, tetapi pada pihak lain ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan, dan menguji teori-teorinya dengan kenyataan politik yang hidup di tengah kehidupan bernegara pada zamannya.
Ket. klik warna biru untuk link
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Farabi. Karya Filsafat
2. Al-Farabi. Pemikiran Filsafat
3. Al-Farabi. Metafisika
4. Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan
5. Al-Farabi. Filsafat Praktis
6. Al-Farabi. Logika dan Filsafat Bahasa
Post a Comment