Ibnu Miskawaih. Filsafat Ketuhanan

Table of Contents
Filsafat Ketuhanan Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih
Al-fauz Al-Asghar merupakan risalah umum yang memiliki konsepsi sama dengan bagian pertama buku Al-Farabi; Ara’ ahl Al-Madinah Al-Fadhilah. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berkaitan dengan pembuktian adanya Tuhan, bagian kedua tentang roh dan ragamnya, dan bagian tiga tentang kenabian. Mengenai filsafat-filsafatnya, Miskawaih banyak berhutang kepada Al-Farabi, terutama dalam mempertemukan ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Peralihan pada pemikiran-pemikiran sejarah telah memberinya manfaat yang besar karena ia dapat mengutip sumber-sumbernya secara tepat. Misalnya, pada akhir bab V bagian pertama dari Al-Fauz buku-buku Proclus yang berjudul Kitab Syarh Qaul Flatun Fi Al-Nafs Ghair Maitah. Bagian pertama Al-Fauz Al-Asghar yang memaparkan kemaujudan Tuhan adalah jelas, ringkas, dan padat. Argumennya menyangkut Penggerak Pertama (First Mover) yang sangat populer pada masa itu. Dalam hal ini, ia sepenuhnya pengikut Aristoteles. Sifat-sifat dasar Tuhan adalah: esa, abadi, dan nonmateri.

Miskawaih menggunakan keseluruhan Bab VIII untuk membahas definisi Tuhan secara positif ataupun negatif dan menyimpulkan bahwa cara negatif adalah cara yang paling mungkin. Ia juga menunjukkan kecenderungan Neoplatonis yang mencolok pada Bab IX. Ia mengatakan bahwa ke-maujud-an pertama yang memancar dari Tuhan adalah intelegensia pertama yang (Miskawaih mengatakannya agak ganjil) sama dengan akal aktif. Ia kekal, sempurna, dan tidak berubah karena pemancaran terus-menerus berhubungan dengannya dan kekal, sedangkan sumber pemancaran itu kekal. Ia sempurna dibandingkan dengan yang lebih rendah darinya dan tidak sempurna dibandingkan dengan Tuhan. Kemudian, turunlah roh dari langit ke intelegensi; ia memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan dalam meniru intelegensi. Akan tetapi, ia sempurna dibandingkan dengan benda-benda alam. Lingkungan mewujud melalui roh langit. Dibandingkan dengan roh, ia tidak sempurna sehingga memerlukan gerak fisik, yaitu gerak dalam ruang. Lingkungan bergerak melingkar menunjukkan kekekalan kemaujudannya yang telah ditentukan oleh Tuhan. Melalui lingkungan dan bagian-bagiannya, tubuh-tubuh kita mewujud. Keberadaan kita sangat rapuh karena adanya rantai panjang perantara antara Tuhan dan kita. Dengan alasan itu pula tubuh kita berubah dan fana. Segala ke-maujud-an mewujud melalui Tuhan dan pemancaran serta daya-tembus-Nyalah yang memeliharan tatanan dalam kosmos ini. Apabila Tuhan tidak memberikan pemancaran-Nya, tidak akan ada ke-maujud-an.

Sebagai pemikir religius sejati, Miskawaih mencoba membuktikan bahwa ciptaan bermula dari ketiadaan. Pertama, bentuk-bentuk saling menggantikan, tetapi dasarnya tetap konstan. Dalam perubahan ini, dari satu bentuk ke bentuk lain, ke manakah perginya bentuk yang pertama itu? dua bentuk tidak dapat bersatu sebab mereka berbeda. Kedua, bentuk pertama tidak dapat ke lain tempat karena gerak di tempat berlaku bagi tubuh dan ke-maujud-an tidak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hanya ada satu kemungkinan, yaitu bahwa bentuk pertama menjadi tiada. Jika terbukti bahwa bentuk pertama menjadi Tiada, bentuk kedua mewujud. Demikian pula, bentuk ketiga, keempat, dan seterusnya, dari ketiadaan. Oleh karena itu, segala ke-maujud-an berasal dari ketiadaan.


Ket. klik warna biru untuk link


Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Ibnu Miskawaih. Riwayat Hidup
2. Ibnu Miskawaih. Karya Filsafat
3. Ibnu Miskawaih. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Miskawaih. Filsafat Etika
5. Ibnu Miskawaih. Teori Evolusi dan Keabadian Roh
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment