Teori-Teori yang Patut Diperhatikan pada Abad Kedua Puluh Satu

Teori-Teori yang Patut Diperhatikan pada Abad Kedua Puluh Satu
Teori Queer
Teori Sosial Multikultural, Teori Queer, dan Teori-teori Kritis atas Ras dan Rasisme
Suatu perkembangan mutakhir, yang terkait erat dengan posmodernisme—khususnya penekanannya pada pinggiran dan kecenderungannya untuk menumbangkan medan permainan intelektual—adalah munculnya teori sosial multikultural (Lemert, 2001; Rogers, 1996a). Kemunculan teori multikultural tersebut sudah ditengarai oleh munculnya teori sosiologi feminis pada 1970-an. Kaum feminis mengeluhkan bahwa teori sosiologis sebagian besar tertutup bagi suara-suara wanita, dan pada tahun-tahun berikutnya banyak kelompok minoritas menggemakan keluhan-keluhan kaum feminis. Nyatanya, wanita minoritas (misalnya, wanita Amerika keturunan Afrika dan Latin) mulai mengeluh bahwa teori feminis terbatas pada perempuan kelas menengah kulit putih dan harusnya lebih tanggap terhadap banyak suara lainnya. Sekarang ini, teori feminis sudah jauh lebih beragam, sebagaimana teori sosiologis.

Teori multikultural telah mengambil serangkaian bentuk yang beragam. Contoh-contohnya meliputi teori Afrosentrik (Asante, 1996), studi-studi Apalachian (Banks, Billings, dan Tice, 1996), teori Amerika Pribumi (Buffalo Head, 1996), dan bahkan teori-teori maskulinitas (Connel, 1996; Kimmel, 1996). Hal-hal yang mencirikan teori multikultural antara lain adalah:
- Teori-teori multikultural menolak teori-teori universalistik yang cenderung mendukung pihak yang berkuasa; teori-teori multikultural berusaha memberdayakan orang-orang yang kurang mempunyai kekuatan.
- Teori multikultural berusaha bersikap inklusif, menawarkan teori yang memihak kepada banyak kelompok yang dilemahkan.
- Teoretisi multikultural tidak bebas-nilai; mereka sering berteori dengan memihak orang-orang yang tidak mempunyai kuasa dan bekerja di dunia sosial untuk mengubah struktur sosial, kebudayaan, dan prospek-prospek untuk individu.
- Para teoretisi multikultural berusaha mengganggu bukan hanya dunia sosial, tetapi juga dunia intelektual; mereka membuatnya jauh lebih terbuka dan beragam.
- Tidak ada usaha untuk menarik garis yang jelas antara teori dan tipe-tipe narasi lainnya.
- Biasanya ada suatu ujung kritis bagi teori multikultural; itu adalah kritik diri dan juga kritik atas teori-teori lain dan, yang paling penting, atas dunia sosial.
- Para teoretisi multikultural mengakui bahwa karya mereka dibatasi oleh konteks historis, sosial, dan budaya tertentu yang kebetulan merupakan tempat tinggal mereka (Rogers, 1996b: 11-16).

Dua dari teori multikultural yang paling penting pada masa kini adalah teori Queer dan teori-teori kritis atas ras dan rasisme (dalam bahasa Inggris disingkat CTRR).

Teori Queer muncul dari serangkaian publikasi utama, konferensi-konferensi akademik, organisasi-organisasi politik dan teks-teks yang diterbitkan sebagian besar selama awal 1990-an. Akar teoretisnya terletak pada sejumlah bidang termasuk studi-studi feminis, kritik sastra dan, yang paling utama, konstruksionisme sosial dan postrukturalisme. Teori Queer juga mempunyai sumber-sumber politis, terutama di dalam proyek politik Queer yang lebih besar dan kelompok-kelompok seperti ATC UP dan Queer Nation. Secara akademik teori Queer mempunyai akar-akar awal yang kuat di dalam karya-karya Michel Foucault, Judith Butler, Eve Kosofsky Sedgwick, dan Teresa de Laurentis.

Teori Queer mencakup sederet ide-ide intelektual yang berakar di dalam anggapan bahwa identitas tidak baku dan stabil dan tidak menentukan siapa kita. Lebih tepatnya, identitas dilihat sebagai proses yang dikonstruksi secara historis dan sosial yang cair dan bersaing. Selanjutnya, identitas-identitas tersebut tidak perlu menjadi homo atau lesbian. Sesungguhnya, teori Queer tidak berusaha menjelaskan identitas homoseksual/heteroseksual sebagai suatu gambaran pengetahuan dan kekuasaan yang menata keinginan, perilaku, lembaga-lembaga sosial, dan hubungan-hubungan sosial. Oleh karena itu, meskipun teori queer mengambil seksualitas sebagai salah satu perhatian sentralnya, itu adalah proyek intelektual yang jauh lebih luas daripada studi-studi homo dan lesbian, atau bahkan seksualitas. Oleh karena itu, teori Queer lebih dari atau kurang dari teori mengenai queers (para homoseks).

Para sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya telah membuat sumbangan-sumbangan yang signifikan untuk teori-teori rasisme setidaknya sejak karya W.E.B. Du Bois di awal abad kedua puluh. Teorisasi seperti itu mendapat daya dorong penting pada tahun-tahun belakangan ini dari perkembangan teori ras kritis sebagian besar di bidang hukum (Delgado dan Stefancic, 2001). Teori itu adalah hasil pengakuan yang semakin berkembang bahwa momentum gerakan hak-hak sipil pada 1960-an telah hilang dan apa yang diperlukan bukan hanya penghidupan kembali aktivisme sosial, tetapi juga cara-cara baru menteorikan ras. Ide-ide mengenai teori ras kritis antara lain ialah:
- Rasisme endemik bagi kehidupan orang Amerika oleh karena itu sulit ditangani.
- Ada dorongan kecil bagi orang kulit putih untuk menangani rasisme.
- Ras adalah suatu konstruksi sosial sehingga rentan pada penyelewengan, dan hal itu menyebabkan kesangsian pada hukum, yang dapat diselewengkan dengan cara yang serupa.
- Kelompok-kelompok minoritas yang berbeda telah dirasialkan pada masa-masa yang berbeda.
- Identitas rasial bukan unidimensional atau tetap.
- Pengalaman-pengalaman minoritas rasial dan komunitas-komunitas asalnya sangat penting dan membantu untuk memberi keahlian yang unik bagi minoritas-minoritas rasial.
- Teori ras kritis berorientasi untuk melenyapkan penindasan rasial.

Teori-teori kritis atas ras dan rasisme (CTRR) jauh lebih banyak berakar di dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi, dari pada teori ras kritis. Oleh karena itu, CTRR membahas isu-isu paling mutakhir di dalam teori seperti hubungan antara ras dan rasisme dan agensi-struktur, ekonomi politis, dan globalisasi (termasuk bagaimana ras dan rasisme terkait dengan negara-negara bangsa nasionalisme, kolonialisme, neokolonialisme, dekolonialisasi, imperialisme, dan kekaisaran). CTRR mempunyai fokus yang jauh lebih luas, dan bahkan lebih global daripada teori ras kritis. CTRR juga terbuka kepada susunan teori-teori klasik dan kontemporer yang lebih luas yang dapat diterapkan kepada ras. CTRR juga mengadopsi pendekatan makrostruktural dan makrokultural yang jauh lebih luas, khususnya pendekatan berfokus pada kekuasaan. Suatu kesimpulan umum yang dapat ditarik dari CTRR ialah bahwa ras berarti dan terus berarti bukan hanya di dalam sistem hukum, tetapi di dalam seluruh struktur dan lembaga-lembaga masyarakat (West, 1994). Contohnya, Bonilla-Silva (2003) kritis terhadap pandangan bahwa rasisme masa kini tidak lebih dari sekedar perhatian historis. Agaknya, dia melihat bahwa buta warna merupakan tirai kabut yang mengizinkan orang Amerika kulit putih untuk terus melanggengkan diskriminasi rasial. Juga selaras dengan CTRR adalah usulan Bonilla-Silva untuk melakukan berbagai langkah praktis menangani bentuk rasisme yang baru itu. karakteristik khas lain CTRR ialah usaha mereka untuk menunjukkan bahwa ras juga berarti secara global (Winant, 2001).

Secara keseluruhan, sampai sekarang belum ada teori ras dan rasisme yang kritis atas hal yang sebaliknya. Akan tetapi, ada suatu himpunan historis teori untuk disimpulkan, dan tersedia banyak ide teoretis dan perspektif-perspektif yang sangat relevan, dan juga serangkaian ide yang sudah dikembangkan dari dalam CTRR (misal, interseksionalitas). Warisan itu akan memberi landasan bagi perkembangan CTRR yang berkelanjutan.


Ket. klik warna biru untuk link

Biografi, Pemikiran, dan Karya Tokoh Terkait
1. Michel Foucault
2. W.E.B. Du Bois
 

Baca Juga
Teori Queer

Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Teori-Teori yang Patut Diperhatikan pada Abad Kedua Puluh Satu"