Tradisi, Autoritas, dan Pseduo-komunikasi
Table of Contents
Autoritas |
Sangat menarik memakai tilikan kritis itu untuk melihat aspek perilaku tradisi feodal Jawa. Apakah tata-krama atau unggah-ungguh bahasa Jawa dapat ditunjuk sebagai fenomena distorsi atau sebuah bentuk pseduo-komunikasi? Tentu kita membutuhkan penelitian saksama mengenai ini. Unggah-ungguh itu, dalam kacamata modern, mencerminkan ketidaksamaan posisi komunikasi, sekaligus menampilkan macam-macam bentuk ketidaklangsungan-ketidaklangsungan atau selubung-selubung simbolis, yang bernada eufemistis terutama kalau diarahkan pada autoritas. Di samping menunjukkan kuatnya sensor sosial, language-games ini juga merupakan pelestarian bentuk kehidupan yang terstratifikasi. Apakah simbolisme linguistik yang terstratifikasi ini merupakan distorsi atau pseduo-komunikasi sangat tergantung pada autensitas dan kebenaran penyampaian pesan menurut batas-batas yang dimungkinkan oleh komunikasi tradisional itu. Segala selubung dan kelitan-kelitan lewat simbol-simbol linguistik terstratifikasi itu bisa saja sangat bermakna, dan dikomunikasikan secara bebas dalam arti cocok sebagaimana dihayati para pelaku feodal itu. Masalah pseduo-komunikasi yang sesungguhnya baru disadari dalam masyarakat Indonesia modern yang sudah menerima kategori kebebasan dan kesamaan sosial, namun menyisakan elemen tradisi ini, dan menggunakannya secara strategis atau tak sadar. Kesenjangan antara konsep dan penghayatan ini penipuan-penipuan diri tak sadar, merupakan hasil suatu pseduo-komunikasi. Baru dalam masyarakat yang sadar akan kebebasannya dan demokrasi, unggah-ungguh tampil sebagai pseduo-komunikasi, dan pelestariannya dipersoalkan secara kritis.
Dalam tanggapannya terhadap Gadamer, Habermas menghasilkan kontribusi yang sangat bermanfaat, untuk melengkapi pendirian Gadamer tentang ciri historis pemahaman. Pemahaman itu historis berarti memiliki titik tolaknya pada konsensus yang telah dicapai sebelumnya dalam keadaan objektifnya, dan ini mencakup tradisi yang bisa juga berarti persetujuan diam-diam dan pra-reflektif. Akan tetapi, sifat historis ini sama sekali tidak berarti bahwa pemahaman kita tidak bisa melampaui the conversation that we are, jadi juga bukan berarti penerimaan tradisi secara naif. Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menemukan bahwa konsensus dalam tradisi juga bisa merupakan sebuah pseduo-komunikasi. Conversation juga merupakan sebuah jaringan paksaan-paksaan, sehingga tidak lagi merupakan conversation. Di dalam kritik modern inilah kewarasan suatu tradisi dipersoalkan. Ini sama sekali tidak berarti eliminasi total tradisi—seperti pernah dibayangkan dalam model linier—melainkan mengadakan pengujian kesahihan rasional suatu tradisi. Kita tetap dapat menerima elemen-elemen tradisi dalam pengetahuan dan praktek sosial kita, namun tidak semua elemen. Menurut Habermas, hanya elemen-elemen tradisi yang menjamin kebebasan dari kendala-kendala dan pembatasan-pembatasan dalam pencapaian persetujuanlah yang berhak hidup dan mendapat status pengetahuan. Syarat kesahihan ini dikenakan juga dalam persetujuan mengenai tradisi itu sendiri. Dengan kata lain, meski kritik berlatar belakang tradisi, tradisi itu harus tetap berada dalam kontrol kritik.
Ket. klik warna biru untuk link
Download
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Post a Comment