Peter L. Berger; Momen Internalisasi yang Susah Payah

Momen Internalisasi yang Susah Payah Peter L. Berger
Momen Internalisasi
Momen internalisasi dalam triad Berger adalah tahap pembatinan kembali hasil-hasil objektivasi dengan mengubah struktur lingkungan lahiriah menjadi struktur lingkungan batiniah, yaitu kesadaran subjektif. Di sini kita bisa bertanya, apa isi kesadaran subjek yang hidup dalam pranata-pranata modern yang dijelaskan sebelumnya. Bagaimanakah subjek akan masyarakat modern itu?

Anton C. Zijderveld, seorang murid Berger, menyebut abstraksi sebagai isi pengalaman individu dalam masyarakat modern. Istilah abstraksi ini berarti penyingkiran ciri-ciri konkert dan individual sedemikian rupa sehingga diperoleh ciri-ciri yang sangat umum, bahkan kosong dari ciri empiris. Angka-angka, definisi-definisi umum, hakikat, dan seterusnya adalah beberapa contoh sesuatu yang abstrak. Sekarang kalau abstraksi dipakai sebagai penjelasan untuk pengalaman sosial, abstraksi lalu berarti bahwa interaksi sosial dialami sebagai sesuatu yang jauh dari gapaian pengalaman langsung individu. Itu terjadi karena sifatnya yang formal dan birokratis, tetapi juga plural sehingga sulit membatinkan makna secara integral di dalamnya.

Sejalan dengan penjelasan Zijderveld, kita dapat mengatakan bahwa abstraksi merupakan sifat khas kesadaran modern yang bersumber pada ketidakmampuannya untuk membatinkan kembali lingkungan lahiriahnya, yaitu pranata-pranata modern, seperti teknologi dan birokrasi sebelumnya. Teknologi dan birokrasi menyebabkan dua macam perkembangan dalam modernisasi, yaitu perkembangan ukuran fisik masyarakat dan bertambahnya distansi sosial. Masyarakat modern bukan hanya hidup dalam megapolis-megapolis, melainkan juga dalam megastruktur-megastruktur. Dalam situasi semacam ini, hubungan-hubungan diatur melalui prosedur-prosedur formal dan birokratis, maka nilai intrinsik individu menjadi lenyap. Dia bukanlah suatu siapa dalam megastruktur itu, melainkan merupakan suatu apa, yaitu bukan seorang pribadi, melainkan suatu fungsi. Dengan bertambahnya distansi sosial, para birokrat tampil sebagai wujud-wujud simbolis dan anonim dengan autoritas yang sulit dipahami namun memaksa dengan kesan-kesan metafisis.

Kita bisa mengatakan bahwa birokrasi berupaya menenun jaringan interaksi yang utuh, tetapi jaringan itu lebih bersifat struktural daripada kultural, lebih formal daripada substantif. Di dalam relasi-relasi struktural itulah individu justru mengembangkan jatidirinya secara majemuk sesuai dengan tuntutan lingkungan lahiriahnya. Terjadilah keterpecahan antara dirinya dan aneka perannya yang terbuka terhadap konflik satu sama lain. Makna jatidirinya menjadi kabur. Ketidakmampuan untuk membatinkan lingkungan lahiriahnya secara aktif ini, menyebabkan manusia—yaitu makhluk ganda internus-externus itu—diserap ke kutub externusnya. Dalam momen terakhir triad Berger ini, kita bisa mengatakan bahwa manusia modern justru mengalami kesulitan internalisasi. Akibatnya, dia malah menjadi objek sistem-sistem objektif yang diciptakannya. Momen objektivasi masih berdiri tegar di luar kontrol kesadaran lebih lanjut, yaitu momen internalisasi.

Kesulitan tersebut dalam analisis Zijderveld ditampilkan dua macam fenomena sikap kesadaran terhadap momen objektif itu, yaitu adaptasi dan reaksi. Kita membicarakan yang pertama dulu, adaptasi. Dua bentuk adaptasi yang mungkin adalah konformisme dan privatisme. Dengan konformisme dimaksudkan bahwa manusia modern cenderung menerima secara pasif dan bertindak sesuai dengan tuntutan-tuntutan megastruktur yang secara impersonal mengontrolnya. Individu tidak berpikir, tetapi ada sesuatu yang berpikir di dalam individu, yaitu megastruktur itu. Sementara itu, sebagai tempat pengungsian dari megastruktur yang terus-menerus mendesaknya sebagai bukan siapa-siapa, dunia kehidupan privat menyediakan ruang tatap muka yang masih bersifat konkret, afeksional, dan langsung. Di dalam masyarakat multireligi dan multietnis seperti Indonesia, ruang hubungan-hubungan konkret yang lebih luas juga disediakan oleh ikatan-ikatan primordial. Karena itu, primordialisme berfungsi seperti privatisme dalam skala lebih luas. Privatisme adalah penarikan diri dari sifat abstrak masyarakat sampai menjadi apatis dan apolitis terhadap masyarakat luas, sementara itu primordialisme juga merupakan penarikan diri, bukan dari masyarakat, melainkan dari sebuah kerangka abstrak yang bernama nasionalitas. Meski demikian, privatisme dan primordialisme memungkinkan manusia untuk mereguk makna untuk kelangsungan hidupnya di dalam megastruktur yang hampa makna.

Reaksi atas hasil objektivasi itu dimungkinkan karena kesadaran bukan hanya bisa mengadaptasi, melainkan juga bisa mentransendir diri. Dua bentuk reaksi yang mungkin adalah memberontak atau menarik diri. Yang dimaksud menarik diri adalah tidak mempedulikan hasil objektivasi kolektif itu dan mengarahkan diri ke dalam lingkungan batiniahnya sendiri. Di dalam celah sempit ini individu kembali terpukau atau terpesona kepada daya-daya estetis yang irasional. Dia menjadi tidak tanggap terhadap lingkungan lahiriahnya dan mengalami kematian sosial. Di dalam hal ini individu mengambil sikap gnosistis, bereaksi terhadap rasionalisasi dan abstraksi itu. Berbagai aliran yang berbau mistis, religius, esoteris, tumbuh subur diam-diam atau terang-terangan manakala masyarakat menjadi makin abstrak. Yang dimaksud dengan memberontak adalah sikap menghendaki perubahan struktural secara radikal. Di sini individu bersikap aktivistis, bereaksi keras terhadap ketimpangan struktural dan abstraksi bukan dengan menarik diri, melainkan dengan mengintensifkan emansipasi sebagai aspek kesadaran modern. Kalangan Marxis tercakup di dalamnya. Berdiri di antara kaum aktivis dan kaum gnosis modern adalah kaum anarkis. Di sini individu mengambil sikap pesimis terhadap modernisasi dan hasil-hasil objektivasi itu, lalu menoleh ke masa silam, sebuah firdaus yang ditanduskan oleh rasionalisasi. Kalangan counter-culture termasuk ke dalam bilangan kaum anarkis ini.


Ket. klik warna biru untuk link

Download

Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.


Baca Juga
1. Peter L. Berger. Biografi
2. Peter L. Berger. Refleksi Atas Interaksi Kesadaran dan Struktur dalam Modernisasi
3. Peter L. Berger. Momen Eksternalisasi, Munculnya Kesadaran Modern dan Aspek-Aspeknya
4. Peter L. Berger. Momen Objektivasi, Pranata-Pranata Modern
5. Peter L. Berger. The Sacred Canopy
6. Peter L. Berger. Pembentukan Realitas Secara Sosial
7. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial
8. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Subjektif
9. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Objektif
10. Peter L. Berger. Modernisasi Sebagai Pembangunan Alam Artifisial
11. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial dan Legitimasinya
12. Peter L. Berger. Perkawinan 
13. Pokok Bahasan Sosiologi
14. Mirror On The Wall. Gambaran Realitas Sosial yang Terdistorsi
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Peter L. Berger; Momen Internalisasi yang Susah Payah"