Peter L. Berger; Momen Eksternalisasi, Munculnya Kesadaran Modern dan Aspek-Aspeknya
Table of Contents
Kesadaran Modern |
Sering kali dijelaskan bahwa kesadaran modern muncul di Eropa dengan penemuan subjektivitas dan gerakan rasionalisme yang lalu ditanggapi dengan empirisme. Tokoh yang besar peranannya di sini adalah Descartes. Dalam ungkapan masyhurnya, Cogito ergo sum, dirumuskan bentuk kesadaran yang baru itu. Pertama, bahwa aku ini adalah suatu subjek yang menghadapi alam lahiriah. Dalam arti inilah lingkungan batiniah bukan hanya dibedakan, melainkan juga dipisahkan dari lingkungan lahiriah. Kedua, bahwa pengetahuanku mengenai kenyataan itu hasil pemikiranku sendiri dan bukan diturunkan dari tradisi atau wahyu. Cogito adalah sebuah keyakinan yang sangat mendasar pada rasionalitas manusia, melebihi segala tafsiran dogmatis yang sudah ada. Karena itu, Descartes melandasi suatu bentuk kesadaran yang memahami kenyataan sebagai hasil perumusan rasional, atau rasionalisme. Meskipun menyangkal beberapa aspek rasionalitas, empirisme tetap meneguhkan bahwa manusia adalah subjek pengetahuan, hanya sekarang pengetahuan didasarkan pada observasi dan pengalaman. Penemuan subjectum membalikkan pusat kenyataan. Bukannya lingkungan batiniah harus menyesuaikan diri dengan lingkungan lahiriahnya, melainkan yang pertama harus menyesuaikan yang terakhir dengan norma-normanya. Kosmosentrisme berubah menjadi antroposentrisme.
Berpangkal dari subjectum ini, muncul beberapa aspek kesadaran modern lain yang biasanya disebut dengan beberapa istilah, yaitu progres, individuasi, emansipasi, dan sekularisasi. Yang pertama, progres atau kemajuan, adalah suatu kesadaran waktu yang khas dalam modernitas. Masyarakat modern sadar bahwa waktu merupakan sebuah arus yang tak bisa diulang. Kekinian itu unik dan begitu lewat sekejap menjadi kesilaman; artinya, ia lenyap ke belakang. Waktu memiliki nilai intrinsik yang tak terulangi. Karena itu, kita bisa mengisi waktu mengandung potensi kreatif, sebab melalui waktu tersebut manusia menghasilkan peristiwa-peristiwa khas. Jika demikian, suatu seri waktu tidak sekedar berisi rentetan peristiwa tanpa arah. Setiap saat adalah potensi kreatif, maka harus merupakan perbaikan atas saat yang sebelumnya. Dengan kata lain, kekinian merupakan peningkatan kualitatif kelampauan dalam rangka lebih meningkatkannya dalam kenantian. Dalam arti inilah waktu dihayati sebagai sebuah garis lurus menuju kemajuan. Daur waktu yang menandai kesadaran pra-modern dipatahkan. Tidak ada lagi repetisi dan imitasi. Yang ada kreasi. Meminjam ungkapan Berger dalam Imperative Heretic, nasib atau fatum sudah diubah menjadi pilihan dan kesempatan.
Subjectum berarti juga bahwa individu lahir ke dalam kenyataan. Individu membebaskan diri dari identitas-identitas kolektifnya, bahkan menjadi kontra-posisi kolektivitas. Proses yang kemudian disebut individuasi ini mencakup kesadaran diri pada pihak individu bahwa dirinya berbeda dari masyarakatnya. Dia itu otonom, dalam arti menghasilkan nomos (hukum)-nya sendiri (auto). Demikianlah dalam pemikiran Locke, Hobbes, dan Rousseau, ditegaskan lebih radikal lagi bahwa nomos masyarakat bukan berasal dari dunia-sana, bukan pula dari alam, melainkan ciptaan individu-individu otonom—suatu alam kedua. Kelahiran individu yang dalam konteks historis Barat ditandai oleh mekarnya lapisan borjuasi diiringi dengan munculnya kesadaran akan hak-hak universal manusia yang bersifat asasi. Kesadaran akan hak-hak ini menampilkan individuasi itu pada aras politis, yaitu pada aras objektivasi dalam triad Berger.
Tersirat di atas bahwa individuasi sebenarnya sebuah emansipasi, aspek lain lagi dari subjectum. Emansipasi adalah sebuah kesadaran akan pembatasan-pembatasan dan kendala-kendala yang dihadapi oleh suatu subjek dalam mengeksternalisasikan diri, maka emansipasi mengandaikan kritik. Kesadaran semacam ini muncul hanya kalau subjectum itu berjarak dengan kenyataan di luarnya dan menyadarinya sebagai ciptaannya sendiri. Demikianlah, di abad ke-18 emansipasi muncul ketika tradisi disangsikan statusnya sebagai fatum dari atas yang justru menjadi kendala bagi subjek manusiawi untuk maju. Di abad ke-19, aspek-aspek voluntaristis dari pemikiran Marx muda memberi isi baru pada kesadaran emansipasi. Kesadaran ternyata berkaitan dengan eksistensi, yaitu dengan kedudukan dan cara hidup manusia dalam sebuah struktur sosial. Kalau demikian, individuasi hanya dimungkinkan pada kelas sosial tertentu, yaitu borjuasi. Maka, emansipasi muncul kalau kesadaran bukan hanya menyadari kaitannya dengan eksistensi, melainkan mendorong praktek untuk mengubah mengubah eksistensi itu menjadi lebih adil. Pada akhirnya, emansipasi dapat dikembalikan kepada pembentukan kenyataan sosial menurut kriteria-kriteria dalam diri subjectum itu, harapan-harapan normatifnya akan keadilan. Struktur, yaitu lingkungan lahiriah sosial, disesuaikan (melalui praksis revolusioner) dengan kesadaran, yaitu lingkungan batiniah atau subjectum itu.
Akhirnya, aspek subjectum yang lain adalah sekularisasi. Di sini sekularisasi diartikan sebagai bentuk kesadaran yang membedakan atau bahkan memisahkan antara yang sakral dan yang profan. Dengan disenchantment of the world, masyarakat modern menghadapi lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya sebagai peristiwa-peristiwa dari dunia-sini. Dunia-sini itu otonom dalam arti tidak diintervensi oleh kekuatan-kekuatan asing dari dunia-sana. Otonomi ini pun dihasilkan oleh subjectum yang bukan hanya memiliki intensi untuk mengetahui lingkungan lahiriahnya pada dirinya, melainkan juga cenderung mengemansipasi diri. Berger menjelaskan bahwa istilah sekularisasi berhubungan dengan gerakan-gerakan historis untuk membebaskan diri dari dominasi agama dalam kenyataan sosial. Emansipasi di sini adalah disingkirkannya sektor-sektor sosio-kultural—dan kita juga bisa menambahkan alam fisik—dari dominasi tafsiran-tafsiran dan simbol-simbol religius. Dengan desakralisasi itu dunia-sini menjadi medan kreativitas subjectum itu yang selama periode pra-modern dibatasi oleh dikte-dikte agama. Dengan hilangnya ruang hidup bagi alam gaib, kekuasaan juga hilang sifat gaibnya.
Aspek-aspek kesadaran modern di atas inilah yang berada pada momen eksternalisasi dalam triad Berger. Kesadaran jenis ini sudah mengalihkan orientasi manusia dari keterpesonaannya pada dunia supra-indriawi ke arah dunia indriawi, dari kontemplasi alam ke transformasi alam, dan dari determinasi tradisi ke transformasi sosial. Teror kekuatan-kekuatan mitologis telah kehilangan wilayah operasinya karena kekuatan-kekuatan rasional sudah mengadakan eksorsisme (pengusiran roh-roh) dalam ruang otonom, alam dan masyarakat. Sampai di sini, aspek-aspek kesadaran yang semula tampil sebagai negativitas—yaitu kritik atas bentuk-bentuk kesadaran pramodern—pada gilirannya berubah menjadi positivitas: bukan hanya tercurah, melainkan juga mengejawantah menjadi praksis objektif. Itulah momen objektivasi dalam triad Berger yang akan dibahas berikutnya.
Ket. klik warna biru untuk link
Download
Peter L. Berger; Momen Objektivasi, Pranata-Pranata Modern
Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Peter L. Berger. Biografi
2. Peter L. Berger. Refleksi Atas Interaksi Kesadaran dan Struktur dalam Modernisasi
3. Peter L. Berger. Momen Objektivasi, Pranata-Pranata Modern
4. Peter L. Berger. The Sacred Canopy
5. Peter L. Berger. Pembentukan Realitas Secara Sosial
6. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial
7. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Subjektif
8. Peter L. Berger. Masyarakat Sebagai Realitas Objektif
9. Peter L. Berger. Modernisasi Sebagai Pembangunan Alam Artifisial
10. Peter L. Berger. Konstruksi Realitas Secara Sosial dan Legitimasinya
11. Peter L. Berger. Momen Internalisasi yang Susah Payah
12. Peter L. Berger. Perkawinan
13. Pokok Bahasan Sosiologi
14. Mirror On The Wall. Gambaran Realitas Sosial yang Terdistorsi
Post a Comment