Batas-Batas Etika Harmoni

Batas-Batas Etika Harmoni
Harmoni
Etika harmoni tidak dapat dimengerti dalam arti mutlak. Gambaran tentang manusia yang diberikan kepada kita oleh etika harmoni cepat menimbulkan kesan bahwa orang-orang Jawa, terutama kelas-kelas bawah, wong cilik, bersikap fatalistis dan pasif terhadap penindasan atau bahwa mereka cenderung untuk mempertahankan tatanan yang ada. Juga Franz Magnis-Suseno yang telah meneliti kebijaksanaan hidup Jawa ini secara sistematis terlalu memusatkan diri pada momen fatalistis orang Jawa: Wong cilik itu nrima, yaitu menerima semua yang menimpa mereka tanpa protes, rila, yaitu dapat membiarkan, sepi ing pamrih, yakni tanpa kepentingan dan sabar. Semua itu hanyalah separuh dari kebenaran. Di dalam sejarah bangsa Jawa selalu saja muncul pemberontakan-pemberontakan petani, perjuangan-perjuangan kemerdekaan ataupun protes-protes dari wong cilik melawan petinggi-petinggi mereka ataupun tuan-tuan kolonial. Fakta itu membuat kesahihan universal dari etika harmoni dapat dipersoalkan. Aksi-aksi perjuangan dan emansipatoris itu antara lain didokumentasi dalam kesusastraan Hindia Belanda seperti Max Havelaar oleh Multatuli. Momen lain dari kebudayaan Jawa tidak boleh diabaikan, yaitu momen yang—saya meminjam istilah Jacques Derridamendekonstruksi prinsip-prinsip harmoni.

Momen lain kebudayaan Jawa yang saya maksud adalah momen utopis dan eksatologisnya. Sudah dibuktikan bahwa pemberontakan-pemberontakan petani di Jawa pada zaman penjajahan Belanda tidak sekedar dimotivasi oleh kesengsaraan ekonomis, melainkan juga oleh sebuah utopia bahwa seorang Ratu Adil akan datang dan menegakkan tatanan dan keadilan di atas bumi ini. Harapan akan Ratu Adil ini tetap tinggal terpendam sebagai unsur utopis dari wong cilik dan merupakan counterpart dari etika harmoni yang mewarnai pandangan dunia priyayi (kaum ningrat Jawa). Menurut Koentjaraningrat ide mesianis ini merupakan reaksi melawan cara hidup Jawa yang di sini kita sebut etika harmoni. Utopia tersebut merupakan kombinasi sinkretis dari unsur-unsur pribumi, Budha dan Islam. Di abad ke-18 dan 19 muncul sebuah teks yang kemudian banyak dikutip, Prelambang Jayabaya (ramalan Jayabaya) yang meramalkan datangnya Ratu Adil. Raja yang adil ini akan tampil ke muka, demikian keyakinan wong cilik, justru bila masyarakat Jawa berada di dalam zaman edan (periode psikosis massa), yakni dalam dekadensi, krisis moral dan huru hara. Raja itu akan memulihkan keadaan menjadi zaman emas. Kepercayaan akan datangnya Ratu Adil mempengaruhi pemikiran orang Jawa sampai hari ini dan selalu saja muncul ke permukaan bila masyarakat ditindas ataupun terkena krisis.

Saya hendak menekankan perbedaan penting antara etika harmoni dan unsur utopis ini. Harapan akan Ratu Adil juga berdasarkan pada sebuah konsepsi mengenai harmoni, namun dengan cara yang lain. Sementara di dalam etika harmoni, harmoni dimengerti sebagai suatu tatanan alamiah yang telah ada sebelumnya, gerakan Ratu Adil memandang harmoni sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Gerakan itu tidak melihat dunia sebagai ketenangan ataupun tatanan harmonis, melainkan sebagai suatu tatanan yang penuh dosa, busuk dan perlu diselamatkan. Harmoni itu belum ada; ia terletak jauh di masa depan. Dimuati dengan banyak unsur aktivistis, harapan mesianis ini memberi motif-motif untuk mengubah tatanan yang korup. Berlawanan dengan itu, etika harmoni cenderung melayani ideologi pihak-pihak yang berkuasa dengan cara melegitimasikan tatanan yang menindas kaum miskin. Untuk mengoreksi pandangan lazim tentang mentalitas Jawa ini, Sindhunata menegaskan dengan tepat bahwa pemahaman tentang etika harmoni sekurang-kurangnya harus dimotifikasi, karena etika harmoni itu bagi kaum miskin tidak dapat begitu saja dapat diterima. Dari pengalaman historis mereka wong cilik tahu bahwa cita-cita tentang harmoni itu di dalam kehidupan mereka tidak pernah menjadi nyata.


Ket. klik warna biru untuk link

Download


Di Jawa Hak-Hak Dimengerti secara Solidaritas

Sumber
Hardiman, Budi.F. 2001. Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Batas-Batas Etika Harmoni"