Robert K. Merton. Paradigma Analisa Fungsional
Table of Contents
Robert K. Merton |
Merton mengutip tiga postulat yang terdapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakan satu demi satu. Postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari suatu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Sebagai contoh dia mengutip beberapa kebisaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain. Para sesepuh sosiologi melihat agama, misalnya, sebagai suatu unsur penting (kalau tidak esensial) di dalam masyarakat. Kita memiliki banyak contoh di mana agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, kita juga mempunyai banyak kasus di mana agama memiliki konsekuensi disintegratif. Pertempuran antara kaum Katolik lawan Protestan di sepanjang jalan kota Belfast jelas menunjukkan bukti yang sangat kecil bahwa kesatuan fungsional timbul melalui agama.
Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Ia juga menegaskan bahwa apa yang fungsional bagi suatu kelompok (masyarakat Katolik atau Protestan di kota Belfast) dapat tidak fungsional bagi keseluruhan (bagi kota Belfast). Oleh karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus diperinci.
Postulat kedua, yaitu fungsionalisme universal, berkaitan dengan postulat pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Sebagaimana sudah kita ketahui, Merton memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas disfungsional. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional (net balance of functional consequences), yang menimbang fungsi positif relatif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama di Irlandian Utara tadi seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan apakah keseimbangan di antara keduanya lebih menunjuk pada fungsi negatif atau positif.
Postulat ketiga yang melengkapi trio postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebisaan, ide, objek material, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton postulat ini masih kabur. Belum jelas apakah fungsi (suatu kebutuhan sosial, seperti reproduksi anggota-anggota baru) atau item (sebuah norma, seperti keluarga batih), merupakan keharusan. Merton menulis: Pendek kata postulat indispensability sebagaimana yang sering dinyatakan mengandung dua pernyataan yang berkaitan, tetapi dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, bahwa ada beberapa fungsi tertentu yang bersifat mutlak dalam pengertian, bahwa kecuali apabila mereka dijalankan, maka masyarakat (atau kelompok maupun individu) tidak akan ada. Hal ini selanjutnya melahirkan konsep prasyarat fungsional atau prakondisi-prakondisi yang secara fungsional perlu bagi eksistensi suatu masyarakat, suatu konsep yang kelak akan kita kaji secara lebih terperinci. Kedua, yang merupakan masalah lain yang sama pentingnya menganggap bahwa bentuk-bentuk sosial atau kultural tertentu adalah mutlak untuk memenuhi masing-masing fungsi tersebut.
Postulat yang pertama, tentang prasyarat fungsional, sebelum digabungkan ke dalam teori harus diuji lebih dahulu secara empiris, bukan langsung disetujui begitu saja. Dalam menanggapi hal yang kedua Merton mengetengahkan konsep alternatif fungsional (functional alternatives). Dengan kata lain, suatu item yang fungsional dapat diganti oleh unsur lain, akan tetapi kebutuhan fungsional tersebut masih tetap terpenuhi.
Sebuah contoh akan memungkinkan mahasiswa untuk lebih memahami postulat indespensablitity yang masih mentah ini. Bilamana suatu keharusan fungsional (functional imperative) telah ditetapkan (terdapat beberapa contoh yang tidak terbantah), ternyata lebih dari satu item kultural dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan sosial. Prasyarat fungsional dari reproduksi biologis merupakan hal yang esensial bagi semua kelompok kemasyarakatan. Agar masyarakat bisa berkesinambungan maka orang-orang yang telah menjadi tua dan akhirnya mati harus segera diganti. Tetapi item kultural lewat mana reproduksi ini dicapai ternyata memang berbeda-beda. Di tahun 1970-an norma-norma reproduksi dalam beberapa tipe perkawinan bahkan mengalami tantangan, seperti kaum wanita yang mengungkapkan keinginan mereka menjadi ibu tanpa ikatan perkawinan yang sah secara kelembagaan.
Di dalam menyatakan keberatannya terhadap ketiga postulat itu Merton menyatakan bahwa (1) kita tidak mungkin mengharapkan terjadinya integrasi masyarakat yang benar-benar tuntas, (2) kita harus mengakui baik disfungsi maupun konsekuensi fungsional yang positif dari suatu elemen kultural; dan (3) kemungkinan alternatif fungsional harus diperhitungkan dalam setiap analisa fungsional.
Kecuali sanggahannya terhadap ketiga postulat di atas, Merton masih mengetengahkan masalah lain dalam fungsionalisme yang mentah itu, khususnya kesimpangsiuran antara motivasi-motivasi yang disadari dan konsekuensi-konsekuensi objektif. Dengan gaya mirip Durkheim, Merton menyatakan bahwa masalah utama bagi para ahli sosiologi adalah konsekuensi objektif, bukannya motivasi. Tetapi konsekuensi yang demikian dapat berupa konsekuensi manifest maupun laten: fungsi manifest adalah konsekuensi objektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan disadari oleh para partisipan dalam sistem tersebut, sedang fungsi laten adalah fungsi yang tidak dimaksudkan atau disadari. Perhatian penelitian sosiologi selama ini telah diarahkan kepada studi fungsi-fungsi manifest akan tetapi studi fungsi manifest yang mengabaikan fungsi laten adalah menyesatkan. Terdapat banyak contoh di mana identifikasi fungsi manifest belum lagi berarti secara sosiologis seperti halnya pembahasan tentang konsekuensi laten. Teori Veblen tentang konsumsi mewah (di mana pengeluaran uang secara liberal untuk hal-hal mewah yang berkaitan dengan status seseorang) misalnya menunjukkan pentingnya untuk mengetahui fungsi laten itu.
Walaupun fungsi manifest pembelian sebuah mobil mewah adalah sebagai sarana transportasi dari dan ke tempat kerja, tetapi pembelian sebuah mobil mewah memenuhi fungsi laten untuk mempertontonkan kekayaan dan status kepada masyarakat. Setiap praktek kebudayaan dapat dianalisa dari perspektif fungsi laten dan manifest ini. Merton sendiri menggunakan mesin politik sebagai contoh. Mekanisme politik yang cenderung merintangi keleluasaan pelaksanaan suatu pemerintahan yang demokratis dilihat sebagai hal yang fungsional, dalam arti memberi sumbangan negatif pada pemerintah setempat dengan menghambat proses demokratis. Walau mungkin hal ini benar pada tingkat manifest, tetapi dalam analisa yang demikian ada fungsi laten yang diabaikan. Sebagai misal, di tahun 1930-an, ketika mesin politik berada dalam kondisi prima ternyata mesin politik tersebut melayani penduduk lokal yang sedang dilanda depresi parah. Pada waktu itu mesin politik banyak menyediakan pelayanan yang dewasa ini banyak dilakukan oleh badan-badan kesejahteraan rakyat (welfare agency). Dalam contoh ini fungsi laten secara sosiologis mungkin lebih penting dari fungsi manifest. Analisa yang baik dari kaum fungsionalis seharusnya tidak hanya mengamati fungsi dan disfungsi, tetapi juga harus memperhatikan fungsi laten dan manifest ini.
Setelah meninjau kembali masalah yang dihadapi oleh analisa yang masih mentah dari kaum fungsionalis itu, Merton selanjutnya mengetengahkan sebuah model atau paradigma yang bulat yang dapat menghindari diri dari semua kelemahan tersebut. Paradigma tersebut dapat dipakai untuk mengarahkan seorang penganut fungsionalisme, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab di dalam analisa:
1. Bagaimana hakikat sistem yang sedang dianalisa? Apakah ia merupakan suatu kelompok etnis atau kultural tertentu, sebuah kelompok kecil (misalnya suatu kelompok persahabatan atau keluarga) atau suatu organisasi yang lebih besar (misalnya birokrasi)? Hal ini perlu diperjelas lebih dahulu, sebab, sebagaimana yang kita ketahui, apa yang mungkin fungsional bagi suatu kelompok tidak dengan sendirinya fungsional bagi kelompok lain.
2. Sehubungan dengan masalah konsekuensi keseimbangan, apakah ada fungsi manifest maupun laten yang harus dipertimbangkan? Sebagaimana yang telah kita uraikan lewat contoh mengenai mesin politik dari Durkheim, fungsi-fungsi tersebut tidak selalu dimaksudkan atau harus diketahui oleh mereka yang berperan serta di dalam suatu sistem.
3. Bagaimana kita menentukan bahwa suatu persyaratan fungsional (functional requirement) harus ada dalam suatu sistem tertentu?. Merton menolak anggapan bahwa untuk tetap hidup semua sistem harus memenuhi seperangkat persyaratan fungsional. Di sini Merton mengingatkan akan perlunya para penganut analisa fungsional memperhatikan alternative-alternatif fungsional (functional alternatives).
4. Apakah minat kaum fungsionalis terhadap isu tentang keteraturan (order) merintangi kemampuan mereka untuk melihat ketidakseimbangan (disequilibrium)? Di dalam memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif, Merton mengingatkan kaum fungsionalis akan kemungkinan terjadinya perubahan sosial oleh karena suatu praktek kebudayaan atau norma yang ada bertentangan dengan sistem sosial. Beberapa item tidak hanya bersifat disfungsional, akan tetapi juga mengakibatkan perubahan di dalam kelompok yang sedang diteliti.
Apa yang ingin dilakukan oleh paradigm Merton kecuali penjelasan konsep-konsep serta pembahasan tentang berbagai kekeliruan dalam fungsionalisme yang mentah itu, ialah mengangkat kepermukaan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka yang menganut analisa fungsionalis. Untuk menjawabnya kaum fungsionalis harus mengingat bahwa apa yang mungkin fungsional bagi suatu kelompok boleh jadi tidak demikian bagi kelompok lain. Lebih daripada itu sosiolog harus juga waspada untuk tidak melupakan fungsi-fungsi laten ketika sedang terbius oleh fungsi manifest yang lebih jelas terlihat itu. Oleh karena praktek kebudayaan bisa saja tidak secara total bersifat integratif atau disintegratif, maka penilaian fungsionalitasnya harus dilihat dalam konteks keseimbangan konsekuensi-konsekuensinya.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber.
Poloma, Margaret. M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Baca Juga
1. Robert K. Merton. Biografi
2. Robert K. Merton. Fungsionalisme Struktural
3. Robert K. Merton. Anomie Theory (Teori Anomi)
4. Fungsionalisme Struktural
5. Teori-Teori Perilaku Menyimpang
6. Membership Group dan Reference Group
Post a Comment