Plato. Politeia

Politeia Plato
Plato
Ajaran tentang Negara
Filsafat Plato memuncak dalam uraian-uraiannya mengenai negara. Latar belakang bagi uraian-uraian ini adalah pengalaman yang pahit mengenai politik Athena, yang sudah dipaparkan sebelumnya. Seluruh keaktifan Plato mesti dianggap sebagai usaha untuk memperbaiki keadaan negara yang dirasakan buruk. Baik pendirian Akademia di Athena maupun pencampuran tangan dalam politik Sisilia mempunyai tujuan itu. Demikian juga karya karangan Plato mengindahkan maksud yang sama. Kedua dialog terpanjang yang ditulis Plato (Politeia dan Nomoi) membicarakan persoalan-persoalan berkenaan dengan susunan negara. Tetapi juga dalam dialog-dialog lain (mulai dengan Apologia yang dapat dipandang sebagai kritiknya yang pertama atas bentuk negara di Athena) Plato membahas pokok-pokok yang bersangkut paut dengan negara.

Menurut Plato ada hubungan erat antara ajarannya di bidang etika dan teorinya tentang negara. Karena itulah terlebih dahulu kita harus bertanya, bagaimanakah ajaran Plato tentang etika. Sebagaimana ajaran Plato pada umumnya tidak gampang dipisahkan dari pendirian gurunya Sokrates, demikian pun anggapan Plato dalam bidang etika tidak dapat diceraikan dari pendapat Sokrates. Oleh sebab itu, apa yang terurai sebelumnya mengenai etika Sokrates, menurut garis besarnya dapat dipandang pula sebagai anggapan Plato tentang etika. Bagi Plato pun tujuan manusia adalah eudaimonia. well-being atau hidup yang baik. Tetapi hidup yang baik tidak mungkin kecuali dalam polis saja. Plato tetap memihak pada cita-cita Yunani yang tua, yakni bahwa hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis. Ia menolak pendapat modern (dalam arti: menyimpang dari tradisi Yunani) yang sudah timbul pada kaum sofis, bahwa negara hanya beralaskan nomos (adat kebiasaan) saja dan bukan physis (kodrat). Plato (dan juga muridnya Aristoteles) tidak pernah ragu-ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan makhluk sosial; atau lebih tepat lagi, bahwa manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau negara. Kalau memang demikian halnya, sudah nyata bahwa hidup yang baik menuntut juga negara yang baik. Dalam suatu negara yang buruk para warga negara tidak mampu mencapai hidup yang baik. Tetapi kebalikannya benar juga: kalau semua warga negara hidup jelek, masakan negara bersangkutan bisa menjadi negara yang baik? Ada pengaruh timbal balik antara hidup yang baik sebagai individu dan negara yang baik.

Selain Politeia dan Nomoi, ada karya ketiga lagi di mana Plato membicarakan persoalan-persoalan yang bertalian dengan negara, yaitu dialog yang berjudul Politikos. Bersama dengan Nomoi, dialog ini juga terhitung dalam periode terakhir aktivitas Plato sebagai pengarang; tetapi bertentangan dengan Nomoi, dialog Politikos ini pendek saja. Dalam uraian ini kami akan membahas, satu demi satu, teori-teori Plato tentang negara yang dikemukakan oleh ketiga karya ini. Kiranya tidak perlu ditambah bahwa dengan itu kami hanya menyinggung beberapa pokok ajaran saja yang termuat di dalamnya, karena ketiga karya tersebut meliputi beberapa ratusan halaman dalam edisi-edisi modern.

1. Politeia
Nama dialog ini berarti tata polis atau tata negara. Terjemahan yang biasanya diberikan dalam bahasa Inggis, yaitu The Republic, sebenarnya kurang tepat, karena bagi orang modern kata republik mempunyai arti yang tidak dimaksudkan oleh Plato. Politeia terdiri dari sepuluh buku atau bagian. Tema yang diselidiki di dalamnya ialah keadilan. Dalam buku I pokok penyelidikan ini diperkenalkan. Agar menjadi lebih jelas apakah keadilan itu, Sokrates mengusulkan supaya keutamaan ini diperiksa bukan saja pada manusia perorangan, melainkan dalam perspektif lebih luas, yaitu negara. Oleh karenanya, mulai dengan buku II dialog selanjutnya berbicara mengenai negara; bukan mengenai salah satu negara konkret, melainkan mengenai negara yang ideal. Bagaimana negara ideal harus disusun? Itulah pertanyaan yang dijawab Plato dalam Politeia.

a. Dasar ekonomis
Menurut Plato alasan yang mengakibatkan manusia hidup dalam polis bersifat ekonomis. Manusia membutuhkan sesamanya. Jika petani membuat bajak dan cangkul sendiri, pakaian sendiri, dan lain sebagainya, ia hampir tidak mempunyai waktu lagi untuk mengolah tanah. Apalagi, tidak semua manusia mempunyai bakat untuk tugas yang sama. Orang satu lebih cocok dengan pekerjaan ini, orang lain lebih cocok dengan pekerjaan lain. Oleh karenanya, perlulah suatu spesialisasi dalam bidang pekerjaan: petani-petani, tukang-tukang tenun, tukang-tukang sepatu, tukang-tukang kayu, tukang-tukang besi, gembala-gembala, pedagang-pedagang, dan lain-lain. Bila polis sudah mencapai taraf lebih mewah, akan diperlukan juga ahli-ahli masak, penyair-penyair, guru-guru, tukang-tukang pangkas, juru-juru masak, dan lain-lain. Karena dalam polis yang mewah jumlah penduduk bertambah, tanah wilayah polis tidak akan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para penghuninya. Akan dirasakan keperluan untuk merebut wilayah polis tetangga. Dengan demikian Plato menunjukkan kecenderungan manusia untuk menambah kekayaan sebagai asal usul timbulnya perang.

b. Para penjaga
Karena pendapatnya mengenai spesialisasi dalam bidang pekerjaan, secara konsekuen Plato berpendirian juga bahwa hanya segolongan orang saja harus ditugaskan untuk melakukan perang. Mereka disebut penjaga-penjaga (phylakes). Usul Plato mengenai tentara yang profesional ini merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat Yunani, karena dalam polis Yunani yang tradisional tentara terdiri dari semua warga negara.

Seluruh buku III membicarakan pendidikan yang harus diberikan kepada penjaga-penjaga itu. Pria dan wanita akan menerima pendidikan yang sama, sehingga juga para wanita dapat menjadi penjaga dan mengambil bagian dalam peperangan. Sebagaimana biasa di Yunani, pendidikan dimulai dengan mempelajari puisi dan belajar musik. Dalam bidang puisi Plato berpendapat bahwa banyak penyair Yunani tidak cocok untuk membentuk jiwa orang muda yang akan menjadi penjaga. Ada dua alasan. Pertama-tama karena penyair-penyair itu—Hesiodos dan Homeros umpamanya—menceritakan tentang para dewa hal-hal yang tidak pantas: pembunuhan, pertengkaran, dan lain-lain. Tetapi, kata Plato, Allah itu adalah baik sifatnya dan Ia harus dilukiskan demikian. Alasan yang kedua ialah bahwa banyak penyair berbicara tentang maut dengan cara yang menakutkan. Padahal, para penjaga harus dididik demikian rupa sehingga mereka dijadikan orang yang menonjol karena keberaniannya. Oleh sebab itu, dalam masa pendidikannya mereka tidak boleh digelisahkan dengan cerita-cerita semacam itu, meskipun mutu puitisnya tinggi sekali. Sesudah mempelajari puisi dan musik, para penjaga harus dilatih dengan senam. Pendidikan jasmani ini harus berlangsung kira-kira dari umur 18 tahun sampai 20 tahun. Plato menekankan bahwa latihan para penjaga tidak boleh menyerupai latihan yang biasa diberikan kepada atlet-atlet Yunani. Para penjaga harus mendapat latihan yang lebih umum dan lebih keras, supaya nanti mereka dapat tahan di medan perang.

Beberapa di antara penjaga-penjaga akan dipilih menjadi pemimpin-pemimpin negara. Hanya mereka yang paling baik dan paling cakap boleh dipilih. Dari tingkah lakunya harus nyata cinta dan kesetiaan mereka kepada negara. Mereka akan dinamakan penjaga dalam arti yang sebenarnya, sedangkan penjaga-penjaga lain sebaiknya dinamakan pembantu saja, demikian kata Plato. Tetapi sebelum mereka dianggap layak untuk memegang kekuasaan negara, terlebih dahulu mereka harus melanjutkan pendidikan yang akan membantu mereka sebagai filsuf. Pendidikan itu amat panjang. Mereka mulai dengan mempelajari semua cabang ilmu pasti. Studi ini akan dilangsungkan sampai usia 30 tahun. Maksud studi ini bukan praktis (penggunaan militer umpamanya), melainkan untuk melatih pemikiran mereka dalam mencari kebenaran. Sesudah itu diadakan seleksi lagi dan mereka yang terpilih akan mempelajari dialektika atau filsafat dalam arti yang sebenarnya. Studi filsafat akan berlangsung selama lima tahun. Maksudnya ialah memandang ide-ide, khususnya yang baik. Setelah pendidikan ini selesai, filsuf-filsuf akan menunaikan berbagai jabatan negara, 15 tahun lamanya. Baru pada usia 50 tahun mereka yang sudah menyatakan kecakapannya dalam hal kepemimpinan dapat dipanggil untuk memerintah negara. Demikianlah negara yang ideal akan dipimpin oleh filsuf-filsuf. Seperti juga dalam Surat VII, Plato mengucapkan keyakinannya bahwa itulah satu-satunya jalan untuk memecahkan kesulitan-kesulitan politik yang dialami pada waktu itu.

c. Tiga golongan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Plato negara yang ideal terdiri dari tiga golongan (selain budak-budak). (1) Golongan pertama adalah penjaga-penjaga yang sebenarnya atau filsuf-filsuf. Karena mereka mempunyai pengertian mengenai yang baik, kepemimpinan negara dipercayakan ke dalam tangan mereka. (2) Golongan kedua adalah pembantu-pembantu atau prajurit-prajurit. Mereka ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi supaya para warga negara tunduk kepada filsuf-filsuf. (3) akhirnya, golongan ketiga terdiri dari petani-petani dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh polis.

Sebagaimana ketiga bagian jiwa mempunyai hubungan khusus dengan keempat keutamaan yang terpenting, demikian pun ketiga golongan dalam negara ideal mempunyai hubungan dengan keempat keutamaan itu. Kebijaksanaan merupakan keutamaan yang khusus terdapat pada para penjaga dalam arti yang sebenarnya. Kegagahan-kegagahan terdapat pada pembantu-pembantu dan, karena golongan pertama dipilih dari antara pembantu-pembantu, sudah nyata bahwa golongan pertama juga mempunyai keutaman ini. Bagi golongan ketiga—petani-petani dan tukang-tukang—keutamaan yang spesifik adalah pengendalian diri. Akhirnya, keadilan terdapat pada semua golongan, karena keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan setiap golongan dan setiap warga negara untuk melaksanakan tugas masing-masing, tanpa campur tangan dalam urusan orang lain. Sebagaimana dalam jiwa keadilan mengakibatkan bahwa ketiga bagian jiwa berfungsi dengan seimbang dan selaras, demikian pun dalam negara keadilan menjamin keseimbangan dan keselarasan antara golongan-golongan dan antara semua warga negara. Dengan demikian di sini kita mendapat jawaban atas pertanyaan yang merupakan masalah pokok bagi seluruh dialog Politeia, yaitu apakah keadilan itu. Karena pendiriannya tentang keadilan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Plato pun sangat mengutamakan keselarasan dan keseimbangan yang boleh dianggap sebagai gagasan Yunani yang khas. Di atas kita sudah beberapa kali menemukan gagasan ini.

Plato berpendapat bahwa pada umumnya anak-anak dari golongan pertama dan kedua akan mempunyai bakat yang sama seperti orang tuanya. Anak-anak dari golongan ketiga juga pada umumnya akan mempunyai bakat yang cocok dengan tugas-tugas golongan ini. Namun demikian, kalau seorang anak dari golongan tertinggi hanya mempunyai bakat bagi tugas-tugas golongan terendah saja, maka ia harus pindah ke golongan ini. Sebaliknya, kalau seorang anak dari golongan terendah ternyata mempunyai bakat yang cocok dengan tugas-tugas golongan pertama dan kedua, maka ia harus pindah ke para pembantu dan, bila saatnya tiba, ia dapat dipilih masuk golongan pertama. Dari sebab itu dapat dikatakan bahwa pendapat Plato mengenai negara yang ideal bersifat aristokratis dalam arti kata yang harfiah (aristos: paling baik; kratein: menguasai), sebab ia beranggapan bahwa hanya warga negara yang paling baik dan paling cakap boleh diangkat menjadi pemimpin Negara. Anggapan ini diungkapkan dalam sebuah mitos yang terkenal.

d. Komunisme dan Perkawinan
Karena para penjaga dan para pembantu memainkan peranan begitu penting dalam negara yang ideal, tentunya ada bahaya mereka akan menyalahgunakan status mereka. Antara lain, mereka dapat mempergunakan posisi mereka dalam negara untuk menambah kekayaan. Kalau demikian,  mereka mengutamakan kepentingan sendiri dan bukan kepentingan negara. Plato menginsafi bahwa kehidupan negara menjadi pincang, kalau ada perbedaan antara golongan kaya dan golongan miskin. Dalam negara semacam itu seakan-akan terdapat dua negara, bukan satu saja, katanya. Dari sebab itu, para penjaga dan para pembantu harus luput dari segala macam keserakahan. Plato menandaskan bahwa mereka tidak boleh mempunyai uang atau milik pribadi. Mereka akan hidup bersama dalam sebuah tangsi dan anggaran belanja tahunan tidak boleh melebihi kebutuhan. Demikianlah para penjaga dan para pembantu akan hidup menurut prinsip komunistis.

Akan tetapi, bukan saja golongan pertama dan kedua tidak boleh mempunyai milik pribadi, mereka juga dilarang mempunyai keluarga sendiri. Itulah pendapat Plato yang masyur sekali yang diuraikan dalam buku V. Pada kesempatan-kesempatan tertentu para penguasa negara akan memilih orang-orang pria dan wanita yang boleh kawin untuk sementara waktu. perkawinan itu diadakan dalam rangka suatu pesta religius dan berlaku untuk beberapa hari saja. Yang dipilih hanyalah mereka yang memberikan harapan akan menghasilkan keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu, plato dapat dianggap sebagai salah seorang perintis eugenetika. Segera sesudah dilahirkan, anak-anak akan diasuh dan dididik dalam suatu asrama yang dipimpin oleh pegawai-pegawai yang ditentukan oleh pemerintah. Orang tua tidak tahu siapa anaknya; paling-paling mereka mengetahui usia anaknya, biarpun tidak pernah dapat dipastikan bahwa anak mereka masih hidup. Plato mengatakan bahwa orang tua akan memperhatikan seluruh polis, bukan anak-anak mereka saja. Dalam negara yang ideal ia menghapuskan keluarga, supaya polis seluruhnya akan menjadi satu keluarga yang besar.

Bagi orang modern pendirian Plato tadi sangat mengherankan, malah menjijikkan. Rupanya Plato tidak menyadari bahwa dalam susunan negara serupa itu hak-hak dan nilai-nilai manusiawi yang asasi diperkosa begitu saja. Namun demikian, tidak boleh dilupakan bahwa susunan negara yang diusulkan dalam Politeia betul-betul merupakan suatu negara yang ideal atau dengan perkataan Plato sendiri suatu contoh yang terdapat dilangit, supaya setiap orang dapat melihatnya dan membentuknya dalam hatinya sendiri. Plato tidak bermaksud melukiskan suatu negara yang dapat direalisasikan begitu saja.

Ia juga insaf bahwa dalam kenyataan konkret masih ada faktor-faktor lain yang harus diperhatikan. Dalam Politeia ia menyajikan prinsip-prinsip yang sedapat mungkin harus diterapkan dalam Negara-negara yang konkret, tanpa mengabaikan faktor-faktor lain. Dipandang dalam konteks Politeia seluruhnya, pendirian Plato bahwa keluarga harus dihapuskan, tentu bersifat konsekuen. Terutama karena tiga alasan. Pertama-tama kita harus ingat bahwa kaum wanita memenuhi tugas-tugas yang sama seperti kaum pria, termasuk juga pertempuran di medan perang. Itulah sebabnya mereka harus dibebaskan dari beban mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anak. Kemudian, sistem yang diusulkan Plato dapat menjamin jumlah penduduk yang mantap. Pemerintah sendiri dapat mengatur supaya jumlah penduduk polis jangan terlalu besar atau terlalu kecil, sekurang-kurangnya pada golongan pertama dan kedua (para petani dan tukang hidup berkeluarga dan memiliki barang pribadi). Stabilitas jumlah penduduk merupakan suatu hal yang penting, kalau kita mengingat bahwa menurut Plato perang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomis akibat jumlah penduduk bertambah besar. Alasan yang ketiga dan terpenting ialah bahwa keluarga tradisional harus dihapuskan supaya pendirian Plato mengenai komunisme dalam golongan pertama dan kedua dapat dilaksanakan. Milik pribadi dan semua konsekuensi buruk yang melekat padanya tidak dapat dibasmi jika keluarga dipertahankan terus. Kepentingan-kepentingan keluarga/family dalam praktek sering kali berbeda dari kepentingan-kepentingan negara sebagai keseluruhan. Kalau seseorang menambah kekayaan untuk menjamin kesejahteraan istrinya, anak-anaknya, sanak saudaranya, maka dengan itu ia gampang merugikan warga negara lain. Plato ingin merancangkan suatu negara, di mana hanya kepentingan umum diutamakan; atau, dengan lebih tepat lagi, ia merancangkan suatu negara, di mana keadilan (sebagaimana dimengerti dalam Politeia) akan tercapai secara sempurna. Plato memberanikan diri untuk menarik segala konsekuensi yang dapat memungkinkan pelaksanaan cita-cita itu, bahkan jika konsekuensi tersebut menentang perasaan yang tertanam kuat dalam hati manusia.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Plato. Biografi
2. Plato. Sifat Khusus
3. Plato. Karya-Karya 
4. Plato. Ajaran tentang Jiwa 
5. Plato. Ajaran tentang Ide-Ide
6. Plato. Nomoi
7. Plato. Politikos
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Plato. Politeia"