Plato. Ajaran tentang Jiwa

Ajaran tentang Jiwa Plato
Plato
Sekalipun Plato menaruh perhatiannya pada lapangan ilmiah yang jauh lebih luas daripada objek penyelidikan Sokrates, namun ia juga memandang manusia sebagai makhluk yang terpenting di atas segala makhluk yang terdapat di dunia ini. Lagi pula, sebagaimana juga gurunya, Plato pun menganggap jiwa sebagai pusat atau inti sari kepribadian manusia. Dalam anggapannya tentang jiwa, Plato tidak saja dipengaruhi oleh Sokrates, tetapi juga oleh Orfisme dan mazhab Pythagorean. Dengan mempergunakan semua unsur itu, Plato menciptakan suatu ajaran tentang jiwa yang berhubungan erat dengan pendiriannya mengenai Ide-ide.

Kebakaan jiwa
Sebagaimana ajaran Sokrates pada umumnya tidak gampang dipisahkan dari pendirian-pendirian Plato jika kita memilih dialog-dialog sebagai sumber yang utama, demikian juga kita tidak dapat memastikan apakah pendapat Sokrates sendiri mengenai kebakaan jiwa. Beberapa sejarawan menyangka bahwa pendapat Sokrates harus dicari dalam Apologia. Kalau memang demikian, Sokrates sendiri merasa ragu-ragu tentang kebakaan jiwa, sebab pada akhir Apologia ia mengatakan bahwa ia tidak tahu apakah kematian dapat disamakan dengan keadaan tidur tanpa impian ataukah kematian boleh diumpamakan sebagai perpindahan ke tempat yang lebih baik. Biar bagaimana, pada Plato tentu terdapat keyakinan teguh bahwa jiwa manusia bersifat baka. Keyakinan ini bersangkut paut dengan ajarannya tentang Ide-ide.

Dalam dialog-dialognya Plato sering kali merumuskan argumen-argumen yang mendukung pendapat-pendapat tentang kebakaan jiwa. Salah satu argumen yang penting ialah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan Ide-ide. Dengan itu ia menuruti prinsip yang mempunyai peranan besar dalam filsafat Yunani sejak Empedokles yakni yang sama mengenal yang sama. Sudah nyata bahwa jiwalah yang mengenal Ide-ide, bukan badan. Dan jika jiwa memang mengenal Ide-ide, maka atas dasar prinsip tadi disimpulkan bahwa jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada Ide-ide. Seperti kita ketahui, Ide bersifat abadi dan tidak berubah. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa jiwa—bertentangan dengan badan—merupakan makhluk yang tidak berubah dan tidak akan mati.

Dalam dialog Phaidros terdapat argumen lain lagi yang bermaksud membuktikan kebakaan jiwa. Di sini Plato menganggap jiwa sebagai prinsip yang menggerakkan dirinya sendiri dan oleh karenanya juga dapat menggerakkan badan. Menurut Plato fungsi jiwa ini menuntut kebakaannya, karena tidak ada alasan mengapa penggerakan itu akan berhenti.

Plato tidak memberi detail-detail yang jelas mengenai cara kebakaan jiwa. Setinggi-tingginya ia menghidangkan mitos yang melukiskan nasib jiwa sesudah kematian badan. Demikian misalnya pada akhir dialog Gorgias, di mana diterangkan bahwa sesudah kematian semua jiwa akan diadili; mereka yang hidup dengan baik akan dibawa ke pulau-pulau yang bahagia, sedangkan mereka yang hidup jahat akan menderita siksa untuk selama-lamanya. Mitos-mitos lain menceritakan perpindahan jiwa, sebagaimana sudah diajarkan oleh kaum Pythagorean; mereka yang hidup jahat akan mengalami nasib yang kurang baik dalam eksistensi yang berikut.

Mengenal sama dengan mengingat
Bagi Plato jiwa itu bukan saja bersifat baka, dalam arti bahwa jiwa tidak akan mati pada saat kematian badan (immortal), melainkan juga bersifat kekal, karena sudah ada sebelum hidup di bumi. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami suatu pra-eksistensi, di mana ia memandang Ide-ide. Plato berpendapat bahwa pada ketika itu tidak semua jiwa melihat hal yang sama. Ada jiwa-jiwa yang melihat lebih banyak daripada jiwa-jiwa lain. Tetapi biarpun hanya sedikit saja, tiap-tiap jiwa mesti telah melihat sesuatu dalam kerajaan Ide itu.

Berdasarkan pendiriannya mengenai pra-eksistensi jiwa, Plato merancang suatu teori tentang pengenalan. Buat dia pengenalan pada pokoknya tidak lain daripada pengingatan (anamnesis) akan Ide-ide yang telah dilihat pada waktu pra-eksistensi itu. Bila manusia lahir di bumi ini, pengetahuan tentang Ide-ide itu sudah menjadi kabur. Tetapi biarpun tersembunyi saja, pengetahuan itu tetap tinggal dalam jiwa manusia dan dapat diingat kembali. Dalam dialog Menon, Plato seakan-akan menghidangkan buktinya. Dalam dialog ini Sokrates—selaku juru bicara Plato—menyodorkan suatu persoalan geometris kepada seorang budak yang tidak pernah mempelajari ilmu ukur. Dengan sejumlah pertanyaan dari pihak Sokrates budak itu akhirnya berhasil mendapatkan jawaban yang betul. Namun ia tidak mengenal prinsip-prinsip ilmu ukur, malahan barangkali belum pernah ia mendengar tentang ilmu itu. Dari sebab itu sudah nyata bahwa pengetahuan yang dihidupkan kembali oleh pertanyaan-pertanyaan Sokrates, berasal dari suatu zaman yang mendahului zaman sekarang. Mendapatkan jawaban yang betul tidaklah lain daripada mengingat kembali.

Dengan teorinya mengenai pengetahuan sebagai pengingatan, Plato juga dapat memperdamaikan pengenalan indrawi dengan pengenalan akal budi. Kita sudah melihat bahwa pengenalan indrawi (doxa) mencakup benda-benda konkret yang senantiasa dalam keadaan perubahan, sedangkan pengenalan akal budi (episteme) menyangkut Ide-ide yang abadi dan tak terubahkan. Karena benda-benda konkret selalu meniru Ide-ide, harus disimpulkan bahwa pengenalan indrawi dapat merintis jalan bagi pengenalan akal budi. Dengan demikian Plato dapat menghargai pengenalan indrawi secara positif.

Bagian-bagian jiwa
Dalam Politeia kita dapat membaca bahwa jiwa terdiri dari tiga bagian. Kata bagian ini (yang dipakai Plato sendiri: mere) harus dipahami sebagai fungsi, sebab Plato sama sekali tidak memaksudkan bahwa jiwa mempunyai keluasan yang dapat dibagi-bagi. Pendirian Plato tentang tiga fungsi jiwa tentu merupakan kemajuan besar dalam pandangan filsafat tentang manusia. Bagian pertama ialah bagian rasional (to logistikon). Bagian kedua ialah bagian keberanian (to thymoeides). Dan bagian ketiga ialah bagian keinginan (to epithymetikon). Bagian keberanian dapat dibandingkan dengan yang kita maksudkan dengan kehendak, sedangkan bagian keinginan menunjukkan hawa nafsu.

Plato menghubungkan ketiga bagian jiwa masing-masing dengan salah satu keutamaan tertentu. Bagian keinginan mempunyai pengendalian diri (sophosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk bagian keberanian keutamaan yang spesifik ialah kegagahan (andreia). Dan bagian rasional dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis atau Sophia). Di samping itu ada lagi keadilan (dikaiosyne) yang tugasnya ialah menjamin keseimbangan antara ketiga bagian jiwa. Dengan demikian Plato menggabungkan keempat keutamaan yang terpenting yang kemudian menjadi klasik. Dalam bahasa Inggris, keempat keutamaan ini disebut the cardinal virtues (temperance, fortitude, prudence, justice).

Dalam Phaidros anggapan tentang tiga bagian jiwa dilukiskan dengan rupa mitos. Jiwa, katanya, adalah seorang sais yang mengendarai dua kuda yang bersayap. Yang satu mau ke atas (bagian keberanian); yang lain selalu menarik ke bawah (bagian keinginan). Sais tadi (bagian rasional) hendak mencapai puncak langit yang tertinggi, supaya dari sana ia dapat memandang kerajaan ide. Tetapi karena kesalahan kuda yang selalu mau ke bawah, mereka kehilangan sayap-sayapnya dan jatuh ke atas bumi.

Juga dalam dialog yang berjudul Timaios, Plato menyebut ketiga bagian jiwa. Di sini ia mengatakan bahwa bagian rasional dapat ditempatkan dalam kepala, bagian keberanian dalam dada dan bagian keinginan di bawah sekat rongga badan. Dalam dialog ini ia juga mengatakan bahwa hanya bagian rasional bersifat baka; bagian-bagian lain akan mati bersama dengan tubuh.

Dualism
Ajaran Plato tentang manusia dalam sejarah filsafat biasanya dinamakan dualism. Dengan istilah itu dimaksudkan bahwa Plato tidak berhasil menerangkan manusia sebagai kesatuan yang sungguh-sungguh, tetapi memandangnya sebagai dualitas: suatu makhluk yang terdiri dari dua unsur kesatuannya tidak dinyatakan. Dan memang begitulah pendapat Plato. Tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan. Plato mengambil alih perkataan yang sudah lazim dipakai dalam mazhab Pythagorean bahwa tubuh adalah kubur dari jiwa (soma sema) dan bahwa jiwa berada dalam tubuh bagaikan berada dalam penjara. Dalam Phaidon, Plato menyamakan filsafat dengan latihan untuk mati. Suatu perkataan yang juga harus dimengerti dalam rangka dualism. Dengan mencari pengetahuan tentang Ide-ide abadi, filsuf sudah memenuhi sedikit keinginan jiwa untuk meluputkan diri dari nasib tubuh. Oleh karena itu, filsuf-filsuf sudah menjadi siap untuk melepaskan diri dari kebutuhan-kebutuhan badani sama sekali pada saat kematian.

Jiwa dunia
Dalam Timaios, Plato menghidangkan kosmologinya. Di sini ia membandingkan jagat raya sebagai makrokosmos dengan manusia sebagai mikrokosmos. Dengan itu, ia mengambil alih suatu prinsip yang sudah tertanam kuat dalam tradisi Yunani sejak Anaximenes. Seperti manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, demikian pun dunia merupakan suatu mahkluk hidup yang terdiri dan tubuh dan jiwa. Tubuh dan jiwa diciptakan oleh sang Tukang (Demiurgos), yang untuk maksud itu menengadahkan kepada Ide-ide sebagai model. Jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia. Timaios memberikan berbagai detail lagi mengenai jiwa dunia, tetapi kesulitannya ialah bahwa seluruh dialog ini bersifat mitis, sehingga agak sukarlah menginterpretasikan maksud Plato yang sebenarnya.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Plato. Biografi
2. Plato. Sifat Khusus
3. Plato. Karya-Karya 
4. Plato. Politeia
5. Plato. Ajaran tentang Ide-Ide
6. Plato. Nomoi
7. Plato. Politikos
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Plato. Ajaran tentang Jiwa"