Pemikiran Filosofis Maurice Merleau-Ponty

Pemikiran Filosofis Maurice Merleau-Ponty
Maurice Merleau-Ponty
Ambiguitas sebagai Ciri Khas Filsafat Merleu-Ponty
Profesor Alphonse de Waelhens dari Universitas Leuven di Belgia, fenomenolog dan sahabat akrab Merleu-Ponty, menulis buku tentangnya dengan judul Une philosophie de I ambiguite (1951) (Sebuah Filsafat Ambiguitas). Istilah ambiguitas ternyata merupakan suatu kata kunci untuk menyifatkan filsafat Merleu-Ponty. Ambiguitas (Inggris: ambiguity) sebenarnya berarti kedwiartian. Dan memang benar, menurut pandangan Merleu-Ponty, dunia dimana kita hidup atau realitas yang kita alami tidak pernah dapat direduksikan kepada satu arti saja. Realitas itu berliku-liku dan mempunyai banyak dimensi. Kalau filsafat memusatkan sorotan analisanya pada salah satu di antara dimensi-dimensi itu, dimensi-dimensi lain tinggal dalam kegelapan.

Jadi, setiap usaha filosofis selalu penuh risiko. Bila kita mulai berfilsafat, kita belum tahu di mana perjalanan kita akan berakhir. Filsafat tidak pernah akan mencapai suatu pengetahuan absolut, seperti pernah dicita-citakan Hegel. Dan dialektika yang berlangsung dalam sejarah tidak pernah akan mencapai titik akhir, seperti dipikirkan sementara Marxis. Merleu-Ponty menolak setiap percobaan untuk menyusun suatu filsafat sistematis. Tidak pernah filsafat dapat mencapai status sistem. Usaha filosofis secara prinsipil tidak pernah selesai dan karena itu dengan tidak kunjung berhenti harus diusahakan kembali.

Gaya bahasa yang dipakai Merleu-Ponty barangkali tidak terlepas dari konsepsi filsafat ini. Cara ia menulis agak sulit dan meminta perhatian penuh dari para pembaca, sedangkan pada umumnya filsafat Prancis terkenal karena bahasanya jelas dan jernih. Hal itu tentu berkaitan erat dengan rasionalisme yang sungguh-sungguh berakar kuat dalam tradisi filosofis di sana. Salah keberatan Merleu-Ponty terhadap filsafat Sartre ialah justru bahwa filsuf terakhir ini menulis dengan cara amat jelas. Dalam pendahuluan buku Pertanda-Pertanda ia mengeluh tentang sa maudite lucidite, kejernihan yang terkutuk, yang menandai karya-karya Sartre. Hal itu bagi Merleu-Ponty merupakan suatu pertanda yang menyatakan sifat rasionalistis filsafat Sartre, suatu kritik yang disetujui oleh banyak komentator.

Dalam pandangan Merleu-Ponty, kebenaran tidak pernah definitif dan absolut. Berfilsafat adalah bertanya. Filsuf bukanlah orang yang tahu, melainkan orang yang sebenarnya tidak tahu, tetapi yang ingin mencari tahu. Jadi, ironi Sokrates bagi dia masih aktual sampai sekarang. Dan tidak mengherankan bila dalam pidato pengukuhannya di College de France ia menggunakan tidak kurang dari delapan halaman untuk menggambarkan Sokrates sebagai contoh bagi filsafatnya.

Ambiguitas pemikiran Merleu-Ponty tampak pula sejauh seluruh filsafatnya merupakan suatu konfrontasi tetap dengan dua aliran ekstrim yang memainkan peranan amat besar dalam sejarah pemikiran modern yaitu realism dan idealism atau variasinya seperti empirisme dan intelektualisme. Dengan menggunakan istilah lain dapat dikatakan juga pemikiran objektivistis dan pemikiran subjektivistis. Bagi dia menolak yang satu sama sekali tidak berarti memihak pada yang lain. Bagaimana pertentangan antara dua aliran itu dapat dibayangkan? Barangkali sebagai berikut.


Realism berpendapat bahwa realitas seluruhnya dapat dikenal secara objektif. Realitas dimengerti sebagai suatu keseluruhan yang tertutup, dan bergantung pada manusia. Kita mengerti dan mencapai kebenaran sejauh dunia yang objektif itu dicerminkan dalam kesadaran. Kalau seorang realis melukiskan persepsi umpamanya, dapat dimengerti bahwa bagi dia subjek tidak penting. Ia menganggap persepsi sebagai salah satu kejadian objektif yang dapat dilukiskan secara objektif pula.


Idealism mengasalkan seluruh realitas pada roh manusiawi. Tidak ada realitas terlepas dari pemikiran. Titik tolak idealism adalah cogito yang absolut. Segala sesuatu harus dimengerti berdasarkan cogito itu, berarti berdasarkan subjektivitas yang absolut. Akibatnya, idealism memutarbalikkan pendapat realism: dunia ada sejauh bergantung pada kesadaran yang absolut. Realitas itu sama dengan realitas yang dipikirkan.

Sekalipun realism dan idealism merupakan dua pendirian yang sama sekali bertentangan, kedua-duanya mengandaikan hal yang sama, yaitu bahwa realitas dapat dipahami secara tuntas. Tetapi justru pengandaian itulah yang ditolak oleh Merleu-Ponty. Menurut dia, pemikiran kita tidak pernah mengerti realitas dengan tuntas; dan subjek yang mengenal tidak pernah merupakan subjek yang mengenal belaka. Baik realism maupun idealism berat sebelah dalam melukiskan hubungan antara subjek dan dunia. Merleu-Ponty menolak untuk mengorbankan subjek kepada dunia atau dunia kepada subjek. Ia sangat menekankan hubungan dialektis antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada dunia tanpa subjek. Untuk memikirkan hubungan itu ia merasa tertolong oleh fenomenologi Husserl, khususnya ajaran tentang intensionalitas. Seperti pada umumnya, fenomenologi baginya paling cocok untuk merumuskan dasar pemikirannya, yaitu ambiguitas tadi.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Maurice Merleau-Ponty. Biografi dan Karya
2. Merleau-Ponty. Persepsi dan Tubuh
3. Merleau-Ponty dan Fenomenologi
4. Merleau-Ponty. Bahasa
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pemikiran Filosofis Maurice Merleau-Ponty"