Michel Foucault. Arkeologi Pengetahuan

Table of Contents
Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault
Michel Foucault
Seperti sudah kita lihat, dalam buku yang dibicarakan tadi Foucault sudah menggunakan istilah arkeologi, biarpun sepintas lalu saja. Kemudian diterbitkan tiga buku lagi di mana istilah itu muncul dalam judulnya. Lahirnya klinik. Sebuah Arkeologi tentang Tatapan Medis (1963) menyelidiki ilmu kedokteran dengan memperlihatkan perubahan epistemologis yang cepat dan mendalam yang telah terjadi akhir abad ke-18, dan permulaan abad ke-19; jadi, kurun waktu yang diselidiki di sini sebagian sama dengan pokok penyelidikan dalam buku pertama. Kata-kata dan Benda-benda. Sebuah Arkeologi tentang Ilmu-Ilmu manusia (1966) sering dianggap sebagai karya Foucault yang paling penting. Di situ sudah kita lihat bahwa Foucault dalam bukunya menyelidiki asal-usul ilmu-ilmu manusia. Ia sampai pada kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan kemanusiaan merupakan suatu penemuan yang masih agak baru (abad ke-19) dan segera akan hilang, bila nanti timbul suatu sistem pemikiran yang lain. Zaman kita sekarang kiranya sudah di ambang pintu perubahan semacam itu.

Tahun 1969 terbit Arkeologi Pengetahuan, buku yang berefleksi tentang metode dan latar belakang teoretis dari tiga buku sebelumnya dan berusaha mempertanggungjawabkan pendirian Foucault yang khas. Jadi, buku ini merupakan semacam postcriptum teoretis pada buku-buku sebelumnya, sebagian ditampilkan oleh pertanyaan dan kritik yang diajukan kepada pengarang. Uraian buku ini berlangsung pada taraf yang agak abstrak, kering dan sulit. Di sini akan diusahakan memperkenalkan pemikiran Foucault tentang tema-tema yang paling penting. Salah satu tema pertama yang mencolok adalah diskontinuitas dalam sejarah. Foucault menyetujui sejarawan-sejarawan baru (khususnya kelompok di sekitar majalah Annales) yang menguraikan sejarah dengan banyak menggunakan konsep-konsep seperti retakan, ambang, batas, seri, transformasi. Dalam cara menguraikan sejarah dulu kontinuitas sangat ditekankan; diberi kesan seolah-olah satu periode secara organis berasal dari periode sebelumnya. Hal yang sama berlaku juga untuk sejarah pemikiran (the history of ideas) dulu yang selalu ingin memperlihatkan perkembangan organis dari satu ajaran ke ajaran berikutnya. Tetapi dalam sejarah pemikiran dewasa ini kita lihat bahwa orang-orang seperti Gaston Bachelard, Canguilhem, Michel Serres, dan lain-lain semakin menonjolkan diskontinuitas. Dulu diskontinuitas dalam fakta-fakta dianggap sebagai hambatan yang justru harus diatasi oleh kepandaian para ahli sejarah. Foucault sepakat dengan ahli-ahli sejarah yang berpendapat bahwa sejarawan justru bertugas memperlihatkan diskontinuitas. Dari suatu konsep negatif diskontinuitas telah menjadi suatu konsep positif. Sejarawan-sejarawan gaya lama akan protes, karena menurut mereka dengan cara demikian sejarah dibunuh begitu saja dan fundamen-fundamennya dibongkar. Tetapi menurut Foucault itu satu-satunya cara untuk mempraktekan sejarah. Dulu sejarah dipergunakan secara ideologis, katanya, karena diandaikan suatu subjek yang mengadakan sintesa dan totalisasi. Tetapi adanya subjek itu justru dipersoalkan oleh Foucault. Prioritas subjek yang terlihat dalam filsafat Prancis selama lebih dari tiga ratus tahun, yaitu sejak Descartes, tidak dapat diterima oleh Foucault.

Maka dari itu bagi Foucault konsep-konsep seperti diskontinuitas, retakan, ambang, batas, seri, dan transformasi menggantikan konsep-konsep lama seperti pengaruh dan tradisi, yang banyak dipakai dulu dalam cara menguraikan sejarah. Malah memahami konsep-konsep bisa seperti buku atau oeuvre sebagai suatu kesatuan, sudah menimbulkan macam-macam tanda Tanya. Kesatuan selalu berarti ditafsirkan sebagai kesatuan. Jadi, apakah yang harus dianggap kesatuan suatu diskursus? Foucault berpangkal pada kesatuan-kesatuan yang ada (seperti misalnya, ilmu kedokteran, ekonomi, oeuvre atau buku) dan menganggapnya sebagai suatu kumpulan pernyataan-pernyataan (dan itulah definisi Foucault untuk diskursus). Ia tidak mengandaikan bahwa di belakang pernyataan-pernyataan itu terdapat intensi seorang pengarang yang mengakibatkan kesatuan itu. Ada rupa-rupa relasi yang mungkin antara beberapa pernyataan (juga relasi misalnya yang tidak dimaksudkan pengarang atau antara pernyataan-pernyataan yang tidak tahu-menahu yang satu tentang yang lain) atau antara beberapa kelompok pernyataan. Karena itu Foucault lebih suka berbicara tentang bentuk diskursif (formation discursive) daripada tentang ilmu, teori, dan lain sebagainya. Dan tentang itu harus diselidiki aturan-aturan pembentukannya. Jika salah satu bentuk diskursif misalnya adalah psikopatologi, maka kita dapat bertanya aturan-aturan mana yang menguasai terbentuknya objek diskursif macam itu. Objek semacam itu (kegilaan misalnya) tidak mendahului suatu diskursus, tetapi dikonstitusikan dalam suatu diskursus.

Dalam rangka menyelidiki diskursus-diskursus Foucault menggunakan tiga konsep yang berkaitan erat satu sama lain: positivitas, apriori historis, dan arsip. Tiga konsep ini akan kami terangkan dengan singkat. Positivitas suatu diskursus atau ilmu adalah apa yang menandai kesatuan diskursus itu dalam suatu periode tertentu, sehingga kita dapat mengatakan bahwa dua pengarang berbicara tentang hal yang sama atau bahwa dua pengarang berbicara tentang hal yang lain. Jadi, positivitas merupakan suatu lingkup komunikasi antara pengarang-pengarang atau ilmuwan-ilmuwan (yang tidak berarti bahwa mereka berbincang-bincang satu dengan yang lain). Positivitas tidak sama luas dengan ilmu (yang mempunyai perkembangan historis yang panjang, ilmu kedokteran misalnya), tetapi lebih luas daripada kelompok atau mazhab (sekelompok ilmuwan yang mengalami pengaruh yang sama). Apa yang memungkinkan suatu positivitas oleh Foucault disebut apriori historis. Dengan itu dimaksudkan keseluruhan syarat-syarat atau aturan-aturan yang menentukan suatu diskursus. Syarat-syarat dan aturan itu tidak datang dari luar tetapi menentukan diskursus dari dalam, menentukan perwujudan diskursus itu sendiri. Akhirnya, arsip adalah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai positivitas sesuai dengan apriori historis masing-masing. Foucault mengatakan juga: arsip adalah sistem pembentukan dan transformasi pernyataan-pernyataan. Jadi, kata arsip di sini tidak boleh dimengerti pasif belaka (sebagai endapan dokumen-dokumen dari masa lampau); arsip juga memungkinkan timbulnya pernyataan-pernyataan. Menurut Foucault tidak mungkin melukiskan dengan tuntas arsip dari suatu kebudayaan, suatu masyarakat atau suatu periode. Dan sama sekali mustahil untuk melukiskan arsip dari zaman kita sekarang, sebab justru arsip itu memungkinkan kita berbicara.

Uraian Foucault tentang arkeologi perlu kita beri perhatian khusus. Tentu saja, kata arkeologi ini bagi Foucault mempunyai arti lain daripada arti yang bisa, yaitu ilmu purbakala. Kita lihat tadi bahwa setiap diskursus ditentukan oleh suatu apriori historis. Lebih konkret itu berarti bahwa setiap zaman mempunyai suatu sistem pemikiran yang menjuruskan cara mempraktekan ilmu pengetahuan pada zaman tersebut. Sistem pemikiran ini oleh Foucault sering kali disebut episteme. Episteme itu bisanya tinggal implisit dan tidak perlu sama dengan teori ilmu pengetahuan eksplisit yang terdapat pada zaman itu. Karena jarak kita sekarang ini terhadap zaman itu sudah cukup jauh, maka bagi kita menjadi mungkin untuk mempelajari dan memperlihatkan episteme itu. Nah, usaha untuk mengeksplisitkan atau menggali episteme yang menentukan suatu periode tertentu oleh Foucault disebut arkeologi atau analisa arkeologi. Dalam Arkeologi Pengetahuan ia mulai dengan membedakan arkeologi dari sejarah pemikiran gaya lama yang menggunakan paham-paham seperti evolusi, kontinuitas, totalisasi. Dari yang sudah dikatakan sampai sekarang kiranya dapat dimengerti bahwa Foucault dengan tegas menolak cara bekerja itu sebagai tidak memuaskan. Metode yang diikuti dalam arkeologi terutama beralaskan empat prinsip. Kekhususan arkeologi terhadap misalnya sejarah pemikiran akan tampak, jika kita memandang keempat prinsip tersebut.
1) Sejarah pemikiran mendekati suatu diskursus dengan berpegang pada dua kategori: yang lama dan yang baru, yang tradisional dan yang original, yang biasa dan yang luar biasa. Sejarah pemikiran ingin menyoroti penemuan-penemuan baru, memperlihatkan sejauh mana sudah ada pendahulu-pendahulu bagi suatu penemuan, menjelaskan sejauh mana suatu penemuan baru meneruskan unsur-unsur lama dan lain sebagainya. Arkeologi tidak mencari penemuan-penemuan. Arkeologi berusaha memperlihatkan the regularity (regularite) of discursive practice: regularitas suatu praktek diskursif. Dengan regularitas dimaksudkan keseluruhan kondisi-kondisi yang memainkan peranan dalam suatu diskursus dan menjamin serta menentukan jadinya diskursus itu. Belum tentu regularitas itu tampak pada ilmuwan-ilmuwan paling besar dan paling original dalam suatu periode. Bisa saja bahwa regularitas ini justru paling jelas pada tokoh-tokoh yang kurang menonjol dan kurang original.

2) Sejarah pemikiran mengenal dua macam kontradiksi: ada kontradiksi yang hanya tampak pada permukaan dan akan hilang jika orang memperhatikan kesatuan mendalam suatu diskursus; dan ada kontradiksi yang menyangkut fundamen-fundamen suatu diskursus. Kontradiksi macam pertama akan lenyap jika orang menggali sampai pada kesatuan tersembunyi suatu teks, jika orang memperhatikan perkembangan suatu oeuvre, jika orang melihat suasana suatu periode atau tipe suatu masyarakat dan lain sebagainya. Kontradiksi macam kedua akan memegang peranan penting dalam perkembangan menuju diskursus itu. Tetapi analisa arkeologis tidak memandang kontradiksi sebagai sesuatu yang tampak pada permukaan saja dan harus dilenyapkan karena suatu kesatuan lebih mendalam; dan juga tidak sebagai suatu prinsip tersembunyi yang harus ditelanjangi. Bagi analisa arkeologis kontradiksi-kontradiksi harus dilukiskan seperti apa adanya.

3) Analisa arkeologis akan menyangkut juga perbandingan-perbandingan: perbandingan antara satu praktek diskursif lainnya atau perbandingan antara suatu praktek diskursif dan suatu praktek non-diskursif (lembaga-lembaga, kejadian-kejadian politik, proses-proses ekonomis dan sosial). Buku Kata-kata dan Benda-Benda merupakan  contoh tentang perbandingan yang pertama, sebab dalam buku tersebut diselidiki tiga bentuk diskursif (yaitu yang menyangkut kehidupan organis, pekerjaan, dan bahasa). Arkeologi bermaksud memperlihatkan relasi-relasi antara sejumlah bentuk diskursif yang tertentu. Jadi, Foucault tidak terkena oleh kritik yang mengatakan bahwa kesimpulan-kesimpulannya tidak akan berlaku lagi, seandainya ia memanfaatkan bahan dari ilmu lain. Foucault sengaja membatasi analisanya dan sama sekali tidak bermaksud memberikan suatu analisa menyeluruh tentang periode tertentu. Malah ia berpendapat bahwa analisa menyeluruh semacam itu tidak mungkin dilaksanakan.

Arkeologi menganalisa juga berhubungan antara praktek-praktek diskursif dan praktek-praktek non-diskursif. Di sini Foucault menunjuk kepada buku lahirnya Lahirnya Klinik. Pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 (saat lahirnya klinik) terdapat kejadian-kejadian politik, kebutuhan-kebutuhan ekonomis, dan konstelasi-konstelasi sosial yang tertentu. Praktek-praktek non-diskursif ini dapat diikutsertakan dalam analisa tentang timbulnya cara pandang medis yang baru pada waktu itu, yaitu klinik. Dalam hal ini Foucault menolak materialism historis. Dalam rangka pandangan Marxistis dikatakan bahwa konsep-konsep medis yang tertentu atau struktur teoretis dari patologi disebabkan atau diubah oleh suatu praktek sosial dan politik. Menurut pendapat marxistis, suatu keadaan politik dan sosial telah menentukan suatu cara pandang medis yang tertentu. Foucault tidak menyebut Marxisme secara eksplisit (hampir tidak pernah ia menyebut lawannya dengan nama), tetapi maksudnya cukup jelas. Foucault tidak menyelidiki bagaimana konsep-konsep medis disebabkan; bagi dia yang penting ialah bagaimana diskursus medis yang tertentu diterapkan pada praktek-praktek yang bukan medis dan tidak bersifat diskursif. Arkeologi tidak mencari sebab-sebab, karena ia hanya berminat menemukan jangkauan dan berfungsinya suatu diskursus.

4) Analisa arkeologis melukiskan juga perubahan. Tetapi ia tidak menerangkan perubahan sebagai penemuan baru (menurut model penciptaan yang bersifat teologis atau estetis) atau sebagai keinsafan baru secara mendadak (menurut model psikologis) atau sebagai evolusi (menurut model biologis). Arkeologi menganalisa perubahan sebagai berbagai macam transformasi. Itu berarti bahwa diskontinuitas tetap diakui, tetapi diskontinuitas tidak dianggap suatu tujuan-pada-dirinya. Arkeologi memperlihatkan perbedaan-perbedaan, sedangkan sejarah pemikiran cenderung untuk menutup perbedaan-perbedaan. Jadi, analisa arkeologis menghormati keadaan faktual. Arkeologi juga tidak mengandaikan bahwa semua objek, konsep, dan pendapat teoretis akan berubah, bila terjadi suatu bentuk diskursif baru. Bisa saja sejumlah unsur tetap tinggal sama, sekalipun sudah termasuk suatu bentuk diskursif yang baru.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens, Kees. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta. Gramedia.

Baca Juga
1. Michel Foucault. Biografi dan Karya
2. Strukturalisme dan Epistemologi. Michel Foucault
3. Michel Foucault. Pemikiran tentang Kuasa 
4. Strukturalisme dan Poststrukturalisme
5. Michel Foucault. Sejarah Kegilaan
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment