Memahami Patologi Suatu Realitas Sosial

patologi realitas sosial

Patologi Realitas Sosial

Fakta-fakta sosial yang ada sejauh menyangkut masyarakat dan manusia bukan hanya realitas yang ada sekarang, melainkan juga punya masa lampau dan masa depan. Masa lalu dan masa depan ini mensituasikan fakta itu pada keadaannya sekarang. Ada sebuah proses pembentukan realitas yang telah dimulai sejak masa lampau, sedang berlangsung, dan menuju ke masa depan tertentu. Tentu kita berharap situasi yang ada saat ini akan menjadi lebih baik lagi di masa depan. Persis harapan ini bisa mendorong suatu bentuk mempersoalkan realitas yang sangat kritis.

Menempatkan realitas sosial dalam konteks waktu dan menemukan proses pembentukannya bisa menjadi pengetahuan yang kritis. Dalam kasus realitas sosial, kita tidak bisa mengabaikan sebuah kegiatan untuk meneliti kesadaran manusia dan bagaimana kaitannya dengan pembentukan realitas itu sehingga realitas ciptaannya itu menjadi objektif. Dalam hal ini, mempersoalkan realitas menjadi kritis kalau kita curiga terhadap realitas. Apa yang kita amati itu bukan suatu realitas sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebuah realitas yang patologis.

Realitas yang patologis, seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, kekerasan, dan seterusnya, dapat dibayangkan sebagai sebuah film tentang psikologi atau abnormalitas, singkatnya: sebuah cerita tentang hambatan-hambatan perealisasian diri manusia. Sebagian besar kendala perealisasian diri manusia tersebut menyangkut kesadaran tokoh-tokoh film tersebut beserta figuran-figurannya. Kesadaran tak pernah dijumpai dalam bentuk murni dalam arti kebenaran murni. Selalu ada kaitannya dengan konteks praksis sosial tertentu. Penafsiran atas realitas yang dikemukakan tokoh agama, pidato, sistem ekonomi dan seterusnya turut pula membentuk kesadaran tersebut. Singkatnya, apa yang disebut sebagai realitas oleh ilmu-ilmu faktual tersebut pun turut membentuk kesadaran para aktor tersebut. Kalau kesadaran tersebut turut melestarikan realitas patologis itu, kesadaran tersebut turut menghambat perealisasian diri manusia. Kesadaran kolektif yang patologis ini objektif, dapat memaksa individu berpikir menurut tuntutan isinya. Itulah ideologi.

Struktur-struktur dasariah dari bentuk-bentuk kesadaran patologis itu dan kaitannya dengan praktik-praktik yang membentuk realitas patologis itu tidak dapat diketahui oleh ilmu-ilmu faktual yang mengejar objektivitas. Disposisi dasar ilmu-ilmu itulah yang tidak memungkinkannya, yaitu menyalin fakta. Lantas, tentu ada sebuah bentuk pengetahuan yang memiliki disposisi dasar yang lain, yaitu mencurigai fakta itu dan mengharapkan perubahannya. Bentuk pengetahuan yang kritis ini justru tidak mengklaim dirinya objektif dalam arti bebas dari penafsir realitas, melainkan justru dimungkinkan dan dibentuk oleh sebuah kepentingan yang radikal dalam diri penafsirnya, yaitu kepentingan untuk menyingkirkan kendala-kendala perealisasian diri manusia itu. Singkatnya, bentuk pengetahuan ini terkait dengan kepentingan untuk membebaskan.

Tentu bentuk pengetahuan ini pada tahap tertentu menghargai tafsiran faktual dari ilmu-ilmu sosio-historis, tetapi pada refleksi tahap keduanya, pengetahuan ini pada gilirannya juga mencurigai tafsiran faktual itu. Tafsiran-tafsiran faktual-ilmiah itu telah berhasil meliput realitas seluas-luasnya, tetapi tidak mencurigai sifat patologis dari realitas itu dan juga tidak mencurigai bahwa dirinya dapat berfungsi sebagai alat untuk melestarikan realitas patologis itu. Tugas dari bentuk pengetahuan kritis ini adalah baik menyingkapkan ciri-ciri patologis realitas itu maupun memperlihatkan tafsiran-tafsiran faktual ilmiah dalam melestarikan realitas patologis itu.

Lalu, kita bisa memperinci macam-macam bentuk tafsiran ilmiah aktual yang terwujud dalam ilmu-ilmu sosial-sejarah, sistem moral, sistem budaya, sistem politik, sistem pengetahuan, legitimasi-legitimasi, teologi, asumsi kurikulum, sebut saja serangkaian mata pelajaran dan ilmu-ilmu yang bersifat faktual tentang realitas sosial. Kita juga dapat menderet hal-hal lain, seperti anggapan umum, sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan seterusnya. Semua yang dapat membentuk realitas patologis itu dapat menjadi sasaran pengetahuan kritis itu.

Bukan mustahil berbagai macam tafsiran faktual dan ilmu-ilmu pengetahuan beserta praktek-praktek yang diyakini membentuk realitas patologis tersebut. Kalau kita mencurigai secara kritis apa yang diyakini sebagai realitas sehingga disposisi yang emansipatoris ini mampu menunjukkan bahwa realitas itu adalah terhambatnya perealisasian diri masyarakat dan manusia, atau singkatnya realitas patologis, kita sungguh-sungguh mulai mempersoalkan realitas. Kalau ini kita lakukan secara metodis dengan pertanggungjawaban rasional, pengetahuan kita menjadi kritis.

Perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang menjanjikan sampai dewasa ini bukannya menghabisi persoalan-persoalan manusia, justru membuka persoalan-persoalan baru, termasuk persoalan tentang model-model realitas yang dikehendaki dan faktor-faktor manusiawi yang tersirat dalam klaim-klaim ilmiah itu. Memaksa realitas dengan memodelkannya dengan satu model adalah penyempitan, pengeringan, pelenyapan nuansa-nuansa, pelumpuhan, dan penyumbatan napas yang membahayakan umat manusia. Di sinilah tugas teori sosial kritis mengembalikan kecanggihan-kecanggihan konseptual yang berlebihan pada pangkalnya yang sederhana namun fundamental, menyingkapkan kaitan klaim objektif itu dengan mantra kekuasaan dan kepentingan, dan pada gilirannya membantu proses pemahaman-diri dan peningkatan-diri manusia. Mempersoalkan realitas, kalau demikian, dulu, hari ini, dan semoga juga di masa depan, merupakan kegiatan dasar yang selalu berkembang yang bukan tanpa manfaat praktis. Seperti halnya hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak dihidupi, pada akhirnya realitas yang tidak dipersoalkan adalah realitas yang tidak layak dihayati.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Memahami Patologi Suatu Realitas Sosial"