Marxisme Prancis. Louis Althusser

Marxisme Prancis Louis Althusser
Louis Althusser
Setiap  percobaan untuk melukiskan pemikiran Althusser akan menjumpai banyak kesulitan. Salah satu kesulitan pertama ialah bahwa dalam pemikiran ini tidak dapat ditunjukkan suatu ide sentral, yang merupakan pusat seluruh uraiannya dan menjamin kesatuan strukturnya. Althusser membaca Marx. Itu berarti bahwa ia mengandaikan suatu pengetahuan mendetail dan teknis tentang seluruh karya tulis Marx. Seperti halnya dengan pemikiran Marx, gagasan-gagasan Althusser pun membentuk suatu keseluruhan dialektis di mana setiap unsur berkaitan dengan semua unsur lain. Memikirkan atau membicarakan suatu gagasan Althusser hanya mungkin dengan memikirkan atau membicarakannya dalam kaitannya dengan semua gagasan lain. Kesulitan lain lagi ialah perkembangan yang terdapat dalam pemikiran Althusser sendiri. Biarpun usaha filosofisnya pasti memperlihatkan juga suatu kontinuitas yang tidak dapat diragukan, namun di kemudian hari sering kita temui pergeseran dalam pendapat-pendapatnya yang mengakibatkan bahwa pemikiran sebelumnya perlu dirumuskan kembali. Seperti sudah kita dengar, Althusser sendiri menulis Sekelumit Kritik-Diri (1974); judul ini sudah cukup jelas menunjukkan kesulitan yang kami maksud di sini. Sambil tetap menyadari kesulitan-kesulitan yang dihadapi di sini, di bawah ini akan diusahakan menggoreskan beberapa garis besar dari pemikiran yang kompleks itu.

Tujuan seluruh usaha Althusser—dan dalam hal ini pasti tidak ada perubahan—ialah memberikan kepada ajaran Marx suatu kerangka teoretis yang kukuh. Ia ingin merumuskan kembali filsafat materialistis ini demikian rupa sehingga tampak lagi relevansi teoretis dan politisnya. Ia coba menggali ortodoksi Marxistis dalam karya-karya yang pernah meletakkan dasarnya, yaitu karya-karya Marx, Engels, dan Lenin. Percobaan ini hanya dapat berhasil jika kita tahu membaca dengan tepat. Boleh ditambah lagi bahwa usaha seperti itu sangat diperlukan, karena ajaran yang masih tetap dikenal sebagai Marxisme telah mengalami perubahan-perubahan yang begitu besar sehingga kekuatan teoretis ajaran itu sudah tidak meyakinkan dan telah berkurang pula dampaknya atas perkembangan perjuangan kaum buruh pada taraf internasional.

Lenin pernah mengatakan: Tidak ada praktek revolusioner tanpa teori revolusioner. Perkataan Lenin ini dapat dianggap sebagai salah satu titik tolak bagi penelitian Althusser. Dalam perkataan ini tampaklah kekhususan politik Marxistis (politik dalam arti: praksis politis). Politik Marxistis itu berbeda dengan politik dogmatis di satu pihak dan politik empiristis dilain pihak. Politik yang bercorak dogmatis berpegang teguh pada pendapat-pendapat yang dianggap sebagai kebenaran begitu saja. Politik yang bercorak empiristis mengikuti keadaan konkret. Pada kenyataannya kedua-duanya mengejawantahkan kepentingan-kepentingan yang terbatas serta ditandai konstelasi sosio-historis yang tertentu dan merumuskannya dalam bentuk ideologi. Nah, dalam konteks ini penemuan Marx yang maha penting adalah materialism historis. Artinya ia telah menemukan ilmu pengetahuan tentang masyarakat dan perubahan-perubahan sosial. Ia memahami bahwa terlebih dahulu harus ditempuh suatu jalan putar teoretis, sebelum orang dapat mengubah hubungan-hubungan sosial dan menggerakkan massa yang terlibat dalam proses historis. Pentingnya penemuan materialism historis oleh Marx itu menurut Althusser harus disetarafkan dengan penemuan matematika di Yunani kuno dan penemuan fisika oleh Galilei.

Perkaitan antara teori (berarti: filsafat) dan praksis ini menyangkut praksis pada umumnya. Hal itu tentu meliputi teristimewa praksis politis, tetapi juga praksis dalam bentuk lain, misalnya praksis ilmiah. Pada awal abad ke-19 sudah terdapat beberapa filsuf yang mulai menyadari bahwa filsafat itu tidak saja suatu perjuangan dibidang ide-ide tetapi juga mempunyai implikasi politik. Marx mempertajam kesadaran itu. Dengan demikian, setelah materialism historis sampai pada pengertian ilmiah bahwa perjuangan kelas merupakan motor sejarah, mereka harus menarik kesimpulan lebih lanjut bahwa filsafat adalah perjuangan kelas di taraf teori. Perkataan terakhir ini kiranya merupakan perumusan paling jelas yang dipakai Althusser untuk menekankan pentingnya teori dalam konsepsi Marxistis.

Semuanya itu tidak boleh salah dimengerti. Tidak boleh dikatakan bahwa Marx menyetujui hubungan antara teori dan praksis sebagaimana sudah lama dikemukakan dalam tradisi filosofis, sudah sejak Aristoteles. Jalan putar teoretis yang ditempuh Marx berarti bahwa teori itu sendiri memegang suatu peranan praktis. Terdapat suatu praktis teoritis. Materialism historis tidak lain daripada praksis teoretis itu. Dan praksis teoretisnya dijalankan dengan mengkritik ideologi yang menguasai masyarakat, baik menurut bentuknya (karena ideologi merupakan pengetahuan yang terbatas jangkauannya, kabur, dan fragmentaris) maupun menurut isinya. Selama ini filsafat selalu memihak pada ideologi yang dominan dalam suatu masyarakat, artinya ideologi dari mereka yang menjalankan kekuasaan ekonomis dan politik. Nah, filsafat Marxistis—yang bersifat materialistis dan sejauh ia bersifat materialistis—menentang ideologi borjuis yang dominan. Filsafat itu memberi suara kepada kaum proletar. Boleh dicatat lagi bahwa dalam uraiannya tentang ideologi Althusser secara mendalam dipengaruhi oleh filsafat Spinoza, tetapi detail-detailnya tidak mungkin dibahas di sini. Juga pengaruh pemikiran filusuf Marxistis Italia, A. Gramsci, memainkan peranan besar dalam pandangan Althusser tentang ideologi dan tema-tema lain pula.

Suatu unsur lain dalam interpretasi Althusser terhadap filsafat materialistis Marx dan Lenin adalah pandangan mereka di bidang teori pengetahuan. Marx telah membebaskan teori tentang pengetahuan dari suatu dilema yang mencakup seluruh filsafat klasik: empirisme dan idealisme. Dengan itu Marx sesungguhnya tidak menambah suatu teori tentang pengetahuan pada begitu banyak teori lain yang ada sebelumnya. Bagi Marx tidak ada suatu teori tentang pengetahuan, karena pengetahuan merupakan suatu proses. Bagaimana dilema antara empirisme dan idealisme itu? Bagi empirisme pengetahuan adalah suatu sintesa pasif dari fakta-fakta. Mereka memberi kesan seolah-olah dengan tiba-tiba kebenaran akan timbul, asal saja observasi-observasi dilanjutkan terus-menerus. Kebenaran dianggap sebagai buah hasil penumpukan fakta-fakta. Idealisme mengerti pengetahuan sebagai sintesa aktif. Menurut pandangan idealistis, subjek yang mengenal adalah yang pada akhirnya menghasilkan objek yang dikenal: pengetahuan. Pada dasarnya baik empirisme maupun idealisme mengandaikan bahwa dibidang pengenalan subjek di luar objek. Dan justru itulah yang di sangkal Marx. Pengetahuan adalah produksi. Pengetahuan adalah objek yang memproduksi dirinya. Dalam hal ini pengetahuan harus dibedakan dengan proses produksi lainnya seperti misalnya pekerjaan dan teknik. Pekerjaan dan teknik mengubah objeknya, tetapi dibidang pengetahuan objek tetap sama, sebelum maupun sesudah dikenal. Pengetahuan mempunyai normanya dalam dirinya sendiri. Dengan mengkritik institusi-institusinya dan abstraksi-abstraksinya pengetahuan menghasilkan pemikiran yang konkret, pemikiran yang benar. Dengan demikian Engels dapat mengatakan bahwa Marx telah menghasilkan konsep nilai komoditi dengan mengkritik jawaban yang diberikan oleh ilmu ekonomi klasik atas problem ini, sama seperti Lavoisier, peletak dasar bagi ilmu kimia modern, menemukan konsep oksigen (zat asam) dengan mengkritik teori ahli kimia lama tentang phlogiston. Pengetahuan tidak terdiri dari pengaruh yang dijalankan oleh objek atas subjek; pengetahuan tidak pula merupakan kesatuan antara subjek dan objek. Pengetahuan adalah produksi dari konsep. Itu berarti bahwa pengetahuan hanya dihasilkan oleh pengetahuan, bukan oleh instansi lain. Itulah pendirian Materialisme Marx.

Aspek lain lagi dari materialisme Marx ini dapat dijelaskan dengan bertolak dari ucapannya Ekonomi merupakan faktor yang pada akhirnya menentukan. Perkataan Marx ini biasanya dimengerti sebagai pembalikan dialektika Hegel; dialektika yang oleh Hegel didasarkan atas Roh, oleh Marx didasarkan atas materi, dan materi bagi sejarah manusia adalah basis ekonomis. Bukankah Marx muda mengatakan bahwa dialektika yang pada Hegel berjalan atas kepalanya (maksudnya adalah idea-idea dari roh) harus ditempatkan atas kakinya? Altrhusser tidak setuju bahwa pemikiran Marx yang sebenarnya adalah menempatkan dialektika Hegel atas kakinya. Menurut dia Marx dikemudian hari meninggalkan secara radikal filsafat sejarah Hegel. Antara lain Marx mempunyai konsepsi lain tentang totalitas. Menurut Hegel sejarah membentuk suatu totalitas yang mengekspresikan roh dan setiap bangsa--misalnya--merupakan suatu fase total dari totalitas tersebut. Pada Marx kita melihat konsepsi lain. Jika kita menyelidiki suatu masyarakat historis yang konkret, menurut Marx kita harus menganalisa suatu keseluruhan kompleks menurut berbagai aspek: aspek ekonomis (cara produksi, artinya kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan-hubungan produksi), aspek politis (perjuangan kelas), aspek yuridis, dan aspek ideologis. Tetapi pendekatan ini harus dilangsungkan demikian rupa sehingga syarat-syarat material untuk produksi dan reproduksi masyarakat (jadi, bidang ekonomis) merupakan inti seluruh analisa. Konsepsi ini oleh Marx malah disebut batu sendi ilmu tentang sejarah, yaitu materialisme historis. Menurut Althusser, pada Marx struktur-struktur politik dan ideologis suatu masyarakat tidak boleh dianggap hanya mencerminkan proses-proses ekonomis. Struktur-struktur politik dan ideologis mempunyai suatu otonomi tertentu. Bisa terjadi bahwa proses ekonomis sebagian ditentukan juga oleh politik dan ideologi, biarpun hal itu tidak menghindarkan bahwa penentuan seperti itu pada akhirnya harus dimengerti berdasarkan struktur hubungan-hubungan produksi. Althusser mengilustrasikan interpretasi ini dengan berbagai contoh. Antara lain ia memperlihatkan bagaimana pada abad pertengahan ideologi religius lebih kuat daripada ekonomi, tetapi keadaan itu justru diperlukan supaya hubungan-hubungan produksi feodal dapat berfungsi dengan baik. Kalau dirumuskan dengan menggunakan istilah-istilah Marxistis bangunan-atas dan basis ekonomis, maka dapat dikatakan bahwa pemikiran Marx yang sebenarnya melihat suatu pengaruh dua arah: bangunan atas berpengaruh atas basis ekonomis. Namun demikian, hubungan-hubungan produksi (basis ekonomis) pada akhirnya menentukan keadaan konkret suatu masyarakat.

Posisi Althusser dalam Marxisme abad ke-20 dapat ditempatkan antara dua interpretasi tentang pemikiran Marx yang sepintas lalu rupanya bertentangan, sehingga menolak yang satu otomatis berarti memilih yang lain. Dua interpretasi itu adalah humanisme di satu pihak dan ekonomisme dipihak lain. Humanisme salah menafsirkan teori Marx dan Lenin tentang sejarah. Mereka menerima adanya suatu subjek sejarah: manusia (kira-kira seperti dulu Roh pada Hegel). Padahal, materialisme hanya memperlihatkan hubungan-hubungan sosial dan manusia itu tidak lain daripada tempat berpijak bagi hubungan-hubungan sosial tersebut. Interpretasi humanistis ini mendapat angin dalam rangka anti-Stalinisme sesudah Kongres Partai Komunis Uni Soviet yang kedua puluh; khususnya di Prancis di mana pada waktu itu iklim filosofis ditandai eksistensialisme dan antroposentrisme. Yang originial dalam posisi Althusser ialah bahwa ia mengaitkan anti-Stalinisme dengan anti-humanisme. Bagi dia, humanisme teoretis tidak mungkin diasalkan dari pemikiran Marx yang sebenarnya. Tetapi ia menolak juga ekonomisme atau pandangan yang mengatakan bahwa hubungan-hubungan sosial hanya mencerminkan proses-proses ekonomis. Kalau begitu, ekonomi menentukan segala-galanya. Itulah pendapat yang menandai fase terakhir dalam pemikiran Stalin. Tetapi pandangan seperti itu tidak dapat dicocokkan dengan keyakinan Althusser bahwa unsur-unsur bangunan atas (seperti politik dan ideologi) harus dianggap relatif otonom, sebagaimana dijelaskan di atas. Ekonomisme mengabaikan perjuangan kelas dan pertentangan-pertentangan dalam hubungan-hubungan produksi.

Sekarang dapat kita mengerti dengan lebih baik bagaimana keretakan epistemologis dalam karya tulisan Marx, berkaitan dengan pendirian anti-humanistis dari Althusser ini. Sudah kita lihat, dalam karangan-karangan di masa mudanya Marx masih dipengaruhi secara mendalam oleh suasana pemikiran Hegelianisme. Pada waktu itu--boleh dikatakan--ia pada pokoknya masih pengikut Feuerbach. Karangan-karangan Marx muda itu memuncak dengan Naskah-Naskah dari tahun 1844. Pada waktu itu Marx masih memandang manusia sebagai pusat sejarah. Bagi Althusser pemikiran Marx yang sebenarnya baru mulai sesudahnya. Dan perlu diingat bahwa Marx sendiri tidak pernah mempublikasikan karangan-karangan masa mudanya itu. Kemudian Althusser mengakui bahwa juga dalam karangan-karangan Marx dari masa matangnya--seperti misalnya Das Kapital, jilid pertama (1867)--masih dapat ditunjukkan pengaruh Hegelian. Baru dalam Kritik atas Program Gotha (1875) dan Catatan-catatan tentang Wagner (1882) sama sekali tidak ditemui lagi pengaruh Hegelian. Bagi Althusser, yang penting ialah bahwa dalam pemikiran Marx jelas terlihat suatu tendensi ke arah itu. Dengan demikian, sisa-sisa Hegelian itu sendiri tampak sebagai kurang relevan.

Akhirnya sepatah kata tentang hubungan Althusser dengan strukturalisme. Hampir secara umum kedua buku Althusser dari tahun 1965 disambut sebagai suatu interpertasi strukturalistis tentang Marx. Dalam Sekelumit Kritik-Diri (1974) dengan tegas Althusser menekankan bahwa tidak pernah dia seorang strukturalis. Sebelumnya dalam kata pendahuluan pada edisi kedua buku Membaca Das Kapital (1968) secara singkat Althusser sudah menyinggung masalah ini. Ia menandaskan bahwa buku-bukunya tidak mempunyai hubungan dengan ideologi strukturalistis. Tetapi ia mengakui bahwa dengan istilah-istilah yang digunakannya ia agak dekat dengan terminologi strukturalistis. Dan memang benar, kata-kata struktur dan struktural banyak dipakai dalam buku-bukunya dari tahun 1965. Maka tidak mengherankan bila Althusser sendiri sampai pada konstatasi: Dengan hanya sedikit kekecualian, interpretasi kami tentang Marx telah disambut dan dinilai--sesuai dengan mode yang berlaku--sebagai strukturalistis. Tetapi apakah Althusser benar dengan menolak sebutan strukturalis? Sebab belum tentu dia sendirilah orang yang paling tepat untuk menilai pemikirannya. Sekarang umumnya dikatakan bahwa Althusser pasti bukan strukturalis, kalau dengan strukturalisme dimengerti suatu generalisasi dari metode Saussure. Althusser tidak tampil dengan metode strukturalistis yang sudah siap dipakai dan kemudian diterapkan pada pemikiran Marx. Namun ada dasar juga, bila Althusser sekitar tahun 1965 spontan digolongkan dalam aliran strukturalisme. Alasannya adalah karena selain dari terminologi yang senantiasa mengingatkan pada strukturalisme, ia juga menganut pendirian-pendirian yang khas strukturalistis seperti anti-humanisme dan anti-historisisme. Dalam karya-karyanya di kemudian hari ia menghindari terminologi yang berbau strukturalisme, tetapi pendirian-pendirian itu tidak ditinggalkannya. Bagaimanapun juga, usaha filosofis Althusser sebaiknya tidak dipandang sebagai suatu unsur dari aliran yang luas; pemikirannya harus dilihat sebagai suatu usaha rigorus untuk memperlihatkan relevansi filsafat Marx bagi keadaan konkret di Prancis (maksudnya tentu lebih luas, tetapi kiranya sudah jelas bahwa suara baru seperti itu tidak akan diperhatikan di Blok Komunis). Tetapi bahwa dalam mewujudkan usaha itu ia tersentuh oleh suasana strukturalistis pada waktu itu, tidak mudah disangkal.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Louis Althusser. Biografi dan Karya
2. Strukturalisme dan Marxisme. Louis Althusser
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Marxisme Prancis. Louis Althusser"