Ludwig Wittgenstein. Tractatus Logico-philosophicus
Table of Contents
Ludwig Wittgenstein |
Jadi, pada waktu yang sama Russell memberikan serangkaian ceramah (yang kemudian diterbitkan dalam bentuk artikel) dan Wittgenstein menyelesaikan buku Tractatus. Ditempat-tempat yang jauh satu sama lain, terpisah karena keadaan perang, mereka mengembangkan pikiran-pikiran yang sama. Jika Russell berkata bahwa ia mengambil begitu saja sejumlah gagasan dari sahabatnya, ia tentu terlalu modest. Pasti terjadi pengaruh timbal-balik antara guru dan murid. Tetapi ia juga terlalu optimis dengan mengandaikan begitu saja bahwa uraiannya sama dengan pendirian Wittgenstein. Kemudian menjadi kentara adanya perbedaan cukup mendalam antara pikiran Russell dan Wittgenstein. Selama hidupnya Wittgenstein acap kali mengatakan bahwa filsafatnya tidak dimengerti, bahkan tidak oleh sahabat-sahabat dan murid-muridnya.
Tractatus tentunya tidak panjang, tidak lebih dari 75 halaman saja. Buku ini terdiri dari pernyataan-pernyataan yang agak pendek. Susunannya diatur demikian rupa sehingga terdapat tujuh dalil pokok yang dibagi-bagi menurut system decimal. Menginterpretasikan buku ini pasti tidak mudah. Wittgenstein memberikan buah hasil pemikirannya, tetapi sering kali tidak menyebut alasan-alasan dan argumentasi-argumentasi yang menghantar dia kepada kesimpulan-kesimpulan pemikirannya. Syukurlah bahwa sekarang sudah ada beberapa komentar yang memudahkan untuk mengerti Tractatus dengan lebih baik, sebagiannya berdasarkan catatan-catatan Wittgenstein sendiri: Notebooks 1914-1916 (1961; edisi yang diperbaiki: 1979). Sulit sekali juga untuk membedakan buku Wittgenstein dengan ajaran Russell. Kedua-duanya menganut atomisme logis (biarpun Wittgenstein tidak menggunakan istilah itu), tetapi ada perbedaan mendalam yang tidak menyangkut detail-detail saja. Di sini kami mencoba melukiskan garis-garis besar buku Witgenstein, tanpa banyak memperhatikan perbedaan-perbedaan dengan Russell.
Dalam pendahuluan bukunya Witgenstein sendiri menyingkirkan usahanya dengan berkata: The Whole sense of the book might be summed up in the following words: What can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence. Jadi, buku ini berbicara tentang Bahasa, atau lebih tepat lagi jika dikatakan buku ini berbicara tentang logika bahasa. Salah satu unsur yang penting sekali dalam uraiannya adalah apa yang disebutnya picture theory atau teori gambar yang dianggap sebagai teori tentang makna. Sebagaimana tersirat dalam buku ini, Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa. Rupanya ide ini terkilas dalam pikiran Wittgenstein ketika ia membaca dalam surat kabar tentang suatu sidang di mana direkonstruksikan suatu kecelakaan lalu lintas. Katakan saja, orang menggunakan sebungkus rokok untuk melambangkan suatu mobil dan sekotak korek api untuk melambangkan mobil lain. Menurut Wittgenstein hal semacam itu berlangsung juga dalam bahasa. Suatu proposisi adalah gambar bukan dalam arti kiasan (maksudnya bukan bahwa proposisi dibandingkan dengan gambar), melainkan secara harfiah. Memang benar, dalam bahasa sehari-hari tidak begitu kelihatan bahwa ucapan-ucapan menggambarkan dunia, tetapi kalimat-kalimat yang kita pakai dapat dianalisis menjadi sejumlah proposisi lebih sederhana. Wittgenstein berkeyakinan bahwa semua ucapan kita mengandung satu atau lebih proposisi elementer, artinya proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. Perlu ditambahkan dengan proposisi elementer dimaksudkannya suatu bentuk logis, bukan suatu ucapan konkret. Latar belakang dari teori Wittgenstein adalah logika modern sebagaimana dirumuskan oleh Russell dan Whitehead.
Inti pemikiran Wittgenstein adalah bahwa suatu proposisi elementer menunjuk kepada suatu state of affair (Bahasa Jerman: Sacherhalt) dalam realitas. Suatu proposisi elemen terdiri dari nama-nama. Suatu nama menunjuk kepada suatu objek dalam realitas. Tetapi nama-nama tersendiri tidak mempunyai makna. Nama-nama tersendiri tidak mengatakan sesuatu dan akibatnya tidak mungkin bersifat benar atau tidak benar. Hanyalah proporsisi mempunyai makna. Kalau ditanyakan apakah yang dimaksud Wittgenstein dengan nama, kita tidak mendapat jawaban yang jelas. Para komentator tidak setuju apakah dengan nama dimaksudkannya term-term primitif seperti misalnya warna, benda material, dan sebagainya atau kah apa yang disebut logical proper names oleh Russell seperti ini dan itu. Wittgenstein sendiri tidak memberi contoh tentang nama atau proporsisi elementer, seperti ia juga tidak memberi contoh tentang objek tunggal (simple object) dan state of affairs. Dari Notebooks 1914-1916 kita tahu bahwa ia senantiasa berusaha untuk mendapatkan contoh-contoh yang tepat, tetapi akhirnya ia menghentikan usaha-usaha itu. Ia berkeyakinan bahwa ia mempunyai alasan-alasan baik untuk menuntut adanya nama-nama dan proposisi-proposisi elementer biarpun contohnya tidak mungkin diberikan.
Kalau Wittgenstein mengatakan bahwa dalam suatu proposisi elementer digambarkan duduk suatu perkara (state of affairs) dalam realitas, maksudnya ialah bahwa unsur-unsur dalam proposisi dan unsur-unsur realitas sepadan satu sama lain. Dengan perkataan lain, struktur proposisi sesuai dengan struktur yang terdapat dalam realitas. Persesuaian itu sebaiknya tidak dibandingkan dengan hubungan antara lukisan atau foto dengan apa yang dipotret, tetapi lebih tepat dibandingkan dengan hubungan antara peta kota dan kota itu sendiri atau antara partitur, piringan hitam dan musik yang didengar: pada taraf yang berbeda-beda pola-pola hubungan antara unsur-unsur itu secara formal sama, biarpun secara material sama sekali berlainan. Wittgenstein berpendapat bahwa hanya teori gambar ini sanggup menjelaskan bahwa kita dapat mengatakan sesuatu tentang realitas. Hanya dengan teori ini dapat diterangkan bahwa bahasa kita bermakna.
Suatu proposisi majemuk terdiri dari proposisi-proposisi elementer. Suatu proposisi majemuk adalah truth-function, artinya kebenarannya tergantung dari proposisi-proposisi elementer yang membentuknya. Wittgenstein menekankan bahwa apa yang disebut logical constanst (tidak, dan, atau, kalau—maka) tidak menunjukkan objek-objek dalam realitas. Dalam realitas tidak ada sesuatu yang sesuai dengannya. Seandainya tidak, maka p akan merupakan sesuatu yang lain daripada—p (p mengacu ke proposisi tanda—mengacu ke pengingkaran).
Ada dua proposisi yang tidak dapat ditangani dengan cara yang sama seperti proposisi-proposisi yang menggambarkan realitas, yaitu di satu pihak tautology-tautologi dan di lain pihak kontradiksi-kontradiksi. Tautology-tautologi itu selalu benar (misalnya John berada di tempat A dan ia tidak berada di tempat A). Dalam pandangan Wittgenstein tautology dan kontradiksi sebenarnya tidak merupakan kontradiksi yang sejati, sebab tidak menggambarkan sesuatu. Yang penting ialah bahwa menurut dia proposisi-proposisi logika (berarti kebenaran-kebenaran dan prinsip-prinsip logis) harus digolongkan dalam tautology. Proposisi-proposisi ini tidak mengungkapkan suatu pikiran, tidak mengatakan sesuatu, sebab tidak merupakan suatu picture (gambar) dari sesuatu. Tetapi proposisi-proposisi ini bukan tidak bermakna.
Salah satu konsekuensi yang harus ditarik dari teori gambar Wittgenstein ialah bahwa proposisi-proposisi metafisis tidak bermakna. Oleh karena itu Wittgenstein dapat dianggap sebagai filusuf yang berorientasi anti metafisis. Tentu saja menolak metafisika bukanlah hal yang baru dalam sejarah filsafat. Kant sudah membuatnya dan sesudahnya lagi positivisme. Yang baru pada Wittgenstein ialah bahwa ia menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna atas nama suatu logika bahasa. Menurut dia filsafat tidak merupakan suatu ajaran, melainkan suatu aktivitas. Tugas filsafat adalah menjelaskan kepada orang apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak dapat dikatakan.
Metafisika melampaui batas-batas bahasa. Metafisika mau mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan. Tetapi Wittgenstein berpendapat juga memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan. There are, indeed, things that cannot be put into words. They make themselves manifest. They are what ia mystical. Pada akhirnya bukunya ia memandang beberapa aspek dari yang mistis. Antara hal-hal yang melampaui batas-batas bahasa disebutnya: subjek, kematian, Allah, dan bahasa sendiri. Marilah kita memandang empat pokok ini dari lebih dekat.
(1) Karena bahasa merupakan gambaran dunia, subjek yang menggunakan bahasa, tidak termasuk dunia. Seperti mata kita tidak dapat diarahkan kepada diri sendiri, demikian juga subjek yang menggunakan bahasa tidak dapat mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
(2) Tidak mungkin juga berbicara tentang kematiannya sendiri, karena kematian tidak merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian kita seakan-akan memagari dunia kita, tetapi kita tidak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak dapat dibicarakan sebagai suatu unsur dunia.
(3) Juga Allah tidak dapat dipandang sebagai sesuatu dalam dunia. Tidak dapat dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri dalam dunia. Wittgenstein bermaksud bahwa tidak pernah suatu kejadian dalam dunia dapat dipandang sebagai campur tangan Allah. Sebab, kalau demikian, Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya kita tidak dapat bicara tentang Allah dengan cara yang bermakna.
(4) Yang paling paradoksal ialah pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak bisa bicara tentang dirinya sendiri. Bahasa mencerminkan dunia, tetapi suatu cermin tidak memantulkan dirinya sendiri. Karena itu Wittgenstein berkesimpulan bahwa orang yang mengerti Tractatus akan mengakui bahwa ucapan-ucapan di dalamnya tidak bermakna. Melalui bahasa si pembaca dihantar ke suatu titik di mana dia mengerti bahwa bahasa yang dihantarkannya tidak bermakna. Ia seakan-akan harus membuang tangga setelah memanjat dengannya. Ini menjelaskan juga apa sebabnya Tractatus merupakan buku yang begitu sulit. Bahasa tidak dapat melukiskan secara langsung apakah itu bahasa, sedangkan tanpa kesulitan apa pun bahasa dapat melukiskan hukum-hukum fisis dan biologis, umpamanya. Oleh karenanya Wittgenstein menggunakan metafora dan analogi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya tidak dapat dikatakan. Sekarang kita dapat mengerti juga dalil 7 dan terakhir bukunya: What we cannot speak about we must pass over in silence. Dengan itu tidak dikatakan sesuatu sepele saja, sebab kita sudah melihat bahwa memang ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia
Baca Juga
1. Ludwig Wittgenstein. Biografi dan Karya
2. Ludwig Wittgenstein. Philosophical Investigations
Post a Comment