Karl Raimund Popper. Masalah Demarkasi
Table of Contents
Karl Raimund Popper |
Pertama-tama ia menekankan bahwa dengan digunakannya prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Tetapi kalau begitu, harus diakui juga bahwa—seperti halnya dengan metafisika—seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum) tidak bermakna! Kedua, berdasarkan prinsip verifikasi metafisika tidak bermakna. Tetapi dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisika atau mitis tentang dunia (sebagai contoh boleh disebut gagasan metafisis seperti atomisme Leukippos dan Demokritos). Suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna, tetapi dapat benar juga, biarpun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu kita harus mengerti ucapan atau teori itu. Tetapi bagaimana kita dapat mengerti suatu teori, jika teori itu tidak mengandung makna?—karena alasan-alasan itu Popper menolak usaha neopositivisme untuk menetapkan suatu prinsip verifikasi. Dan kalau tidak lama kemudian usaha tersebut sama sekali ditinggalkan oleh Lingkungan Wina, hal tersebut sebagian besar diakibatkan oleh kritik Popper.
Perlu ditambah lagi bahwa dalam hal ini maksud Popper sering kali salah dimengerti. Kritiknya sering kali ditafsirkan bukan sebagai penolakan melainkan sebagai koneksi saja atas prinsip verifikasi dari neopositivisme atau dengan nama yang terutama dipakai di Inggris—positivime logis. Kalau begitu, orang berpikir bahwa koreksi Popper ialah digantikannya prinsip verifikasi dengan prinsip falsifikasi. Demikianlah, misalnya, interpretasi Rudolf Carnap, salah seorang anggota Lingkungan Wina yang paling terkemuka, terhadap pemikiran Popper. Popper sendiri tidak keberatan untuk menerima nama prinsip falsifikasi—atau lebih tepat lagi prinsip falsifiabilitas (the principle of falsifiability), tetapi tidak menolak bahwa prinsip ini hanya memperbaiki prinsip verifikasi dari Lingkungan Wina. Bagi Popper problemnya ialah apa yang disebutnya masalah demarkasi (the problem of demarcation): bagaimana kita dapat menarik garis pemisah antara bidang ilmiah dan bidang non ilmiah, antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan? Atas pernyataan itulah ia menjawab bahwa suatu teori atau ucapan bersifat ilmiah, kalau terdapat kemungkinan prinsipil untuk menyatakan salahnya. Itulah maksudnya prinsip falsifiabilitas. Suatu teori yang secara prinsipial mengekslusikan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu, menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah. Bagi positivism logis masalah demarkasi ialah: bagaimana dapat kita menarik suatu garis pemisah antara ucapan-ucapan yang bermakna dan ucapan-ucapan yang tidak bermakna. Dan dengan bantuan prinsip verifikasi mereka menjawab bahwa, selain dari tautologi-tautologi (yaitu ucapan-ucapan logika dan matematika), hanyalah bermakna ucapan-ucapan ilmu pengetahuan empiris; semua ucapan lain—yang mereka singkat dengan nama metafisika—tidak bermakna.
Perlu dicatat bahwa menurut pendirian Popper ini bukan saja ucapan-ucapan metafisis dinyatakan non ilmiah, tetapi juga misalnya astrologi atau ilmu nujum—yang tentu berpretensi mempunyai dasar empiris—dan lebih penting lagi, teori-teori yang sepintas lalu tampak ilmiah seperti psikoanalisis Sigmund Freud, psikologi individual Alfred Alder, dan filsafat sejarah Karl Marx (teori-teori yang ramai dibicarakan di Wina sewaktu Popper masih muda). Teori-teori semacam itu secara sistematis menyingkirkan setiap kemungkinan untuk mengadakan refutation. Teori-teori itu berpretensi dapat menerangkan segala sesuatu, termasuk juga penolakan terhadap teori-teori lain. Seorang pengikut Freud akan mengatakan bahwa para penentangnya tidak mau menerima psikoanalisis, karena mereka dikuasai oleh resistensi tak sadar. Demikian pun seorang Marxis akan menjelaskan bahwa kritik yang diajukan melawan ajaran mereka disebabkan karena para kritisi masih diresapi oleh prasangka-prasangka borjuis. Itu tidak berarti bahwa Popper menolak teori-teori itu sebagai tak bernilai, apalagi sebagai tak bermakna. Dalam hal ini ia tentu lebih positif terhadap psikoanalisis daripada terhadap Marxisme. Setelah dijelaskan bahwa ajaran Freud dan Adler tidak bersifat ilmiah ia menambah: This does not mean that Freud and Adler were not seeing certain things correcty: I personally do not doubt that much of what they say is of considerable imfortance, and may well play its part one day in a psychological science wich testable. But it does mean that those ‘clinical observations’ which analyst naively believe confirm their theory cannot do this any more than the daily confirmation which astrologers find in their practice. And as for Freud’s epic of the Ego, the super-Ego, and the Id, no substantially stronger claim scientific status can be made for it than for Homer’s collected stories from Olympus. These theories describe some fact, but in the manner of myths. They contain most interesting psychological suggestions, but not in testable form.
Akhirnya ditambah lagi bahwa Popper bukan saja mengkritik beberapa pendirian positivism logis, melainkan juga aliran yang mengganti positivism logis di Inggris, yaitu filsafat analitis yang mencari inspirasi pada Wittgenstein II (yang seperti Popper berasal juga dari Wina dan mengajar di Inggris, tetapi konsepsi filsafat mereka berdua sangat berbeda). Menurut Popper filsafat tidak boleh membatasi diri pada penjelasan kata-kata saja. Filsafat harus berbicara tentang realitas, tentang dunia. Bahasa berperan sebagai alat dan sebuah alat harus dipakai untuk membuat sesuatu. Filsafat analitis oleh Popper pernah dibandingkan dengan orang yang terus-menerus membersihkan kacamatanya, tetapi tidak pernah menggunakannya untuk melihat.
Kalau nama neopositivisme atau neopositivisme logis pasti tidak cocok untuk menunjukkan pemikiran Popper, sebaiknya kita memakai nama apa untuk filsafat Popper? Popper sendiri mengusulkan rasionalisme kritis, suatu istilah yang terdiri dari dua unsur yang sama sekali hakiki bagi Popper, yaitu rasio dan kritik. Menurut dia salah satu cara terbaik untuk mempraktekkan sikap rasional ialah dengan selalu rela menerima kritik dan senantiasa mengkritik dirinya sendiri. Sikap ini paling baik diungkapkan dengan nama rasionalisme kritis.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia
Baca Juga
1. Karl Raimund Popper. Biografi dan Karya
2. Mendekati Kebenaran Bersama Karl Raimund Popper
3. Karl Raimund Popper. Filsafat Politik dan Sosial
4. Karl Raimund Popper. Pandangan tentang Dunia 3
Post a Comment