Jean Francois Lyotard. Diskusi dengan Habermas

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, dalam karya-karyanya Lyotard sering mengacu ke filsuf-filsuf besar dari masa lampau maupun masa kini. Salah seorang filsuf masa kini yang beberapa kali disebut dengan nada kritis adalah Jurgen Habermas. Sudah dalam Kondisi Postmodern ia mengkritik pandangan Habermas tentang consensus universal: Konsensus telah menjadi sebuah nilai yang kolot dan perlu dicurigai. Tidak mengherankan, jika dalam pemikiran filsafat kontemporer timbul kesan kuat tentang perbedaan pendapat mendalam antara dua filsuf terkemuka dari Prancis dan Jerman ini. Habermas adalah pemikir tentang modernitas dan secara eksplisit ia mengungkapkan niatnya mau meneruskan proyek pemikiran Pencerahan. Sebaliknya, sebagaimana telah kita lihat, Lyotard justru ingin memikirkan postmodernitas dan menilai proyek pemikiran Pencerahan sudah ketinggalan zaman. Sampai sekarang belum pernah terjadi perdebatan langsung dan menyeluruh antara dua filsuf besar ini. Tetapi dalam uraian-uraian tentang filsafat Lyotard, pertentangan antara mereka banyak disoroti dan dikomentari.
Jean Francois Lyotard Diskusi dengan Habermas
Jean Francois Lyotard
Kami di sini akan mengupayakan beberapa catatan untuk memperlihatkan bahwa pertentangan itu tidak semutlak seperti sering dipikirkan. Perlu ditekankan bahwa yang dapat diberikan hanya beberapa catatan saja, karena kita di sini menghadapi dua corak pemikiran yang sangat kompleks dan berbobot. Pemikiran Habermas dan Lyotard sebenarnya mempunyai titik tolak yang sama.

Bagi Habermas, dalam masyarakat yang ditandai ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, rasio telah menjadi semata-mata instrumental. Rasio menjadi kemungkinan untuk menguasai segala-galanya. Sebagai jalan keluar dari situasi yang sangat berat sebelah ini ia ingin memperlihatkan suatu orientasi lain: mengembangkan rasio sebagai rasio komunikatif. Dengan itu ia mau melanjutkan dan menyempurnakan proyek Pencerahan. Cita-cita modernitas belum pudar, sebaliknya kini menjadi lebih aktual daripada sebelumnya. Hanya filsafat tidak boleh dimengerti lagi sebagai filsafat subjek—suatu tendensi yang mencapai puncaknya pada Hegel—melainkan sebagai filsafat intersubjektivitas. Habermas bermaksud mencari syarat kemungkinan bagi rasio komunikatif itu. Dengan kata lain, bagi dia masalah pokok adalah pendasaran dan normativitas untuk komunikasi rasional dalam masyarakat demokratis.

Lyotard juga menyelidiki status pengetahuan dalam masyarakat yang maju. Dalam masyarakat yang ditandai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi—khususnya teknologi informasi—pertanyaan-pertanyaan tradisional seperti apakah hal itu benar?, apakah hal itu adil?, apakah hal itu secara moral penting? diganti pertanyaan-pertanyaan baru seperti apakah hal itu efisien?, apakah hal itu dapat dipasarkan, apakah hal itu dapat diterjemahkan ke dalam kuantitas informasi?. Masyarakat direduksikan kepada suatu sistem yang diatur oleh masukan dan hasil saja, dengan efisiensi sebagai satu-satunya norma. Sebetulnya sudah kita dengar bahwa Lyotard menggunakan juga istilah performativitas untuk itu. Yang penting ialah bahwa menurut Lyotard cita-cita kesatuan dari modernitas telah menghasilkan keadaan itu. Sebagai jalan keluarnya ia melihat penerimaan heterogenitas. Rasio tidak bersatu—diungkapkan dalam consensus, umpamanya—melainkan banyak.

Ketika pada tahun 1990 Habermas dianugerahi Hadiah Adorno oleh kota Frankfurt, ia memberi pidato berjudul para modern: sebuah proyek yang belum rampung. Di situ ia mengkritik postmodernisme Prancis yang mulai mencuat sekitar saat itu dan menuduh mereka menganut neokonservatisme. Konservatif tentu dimengerti sebagai menolak gerakan modern. Lyotard menjawab dalam sebuah karangan kecil berjudul Menjawab pertanyaan: apa itu postmodernisme? (1982) yang kemudian dimuat dalam Yang Postmodern: Dijelaskan Kepada Anak-anak. Di situ Lyotard menanyakan kesatuan apa yang dimaksudkan Habermas: kesatuan menurut pandangan-pandangan Hegel atau kesatuan menurut pandangan Kant dalam Kritik Atas Daya Pertimbangan? Lyotard tentu bermaksud bahwa Habermas mengerti kesatuan dalam arti pertama, sedangkan ia sendiri memilih arti kedua. Menurut dia, yang disebut kesatuan itu tidak melebihi peralihan antara berbagai permainan bahasa yang heterogen.

Dengan demikian dua gaya pemikiran yang memiliki titik tolak yang agak dekat, akhirnya berkembang dalam dua perspektif yang cukup berbeda. Namun demikian, bisa diragukan apakah perbedaan di sini merupakan kata terakhir. Beberapa komentar menggarisbawahi bahwa pada akhirnya dua-duanya bertemu juga dalam suatu inspirasi yang bersifat etis-politik. Habermas berpendapat bahwa dalam masyarakat kapitalis di mana rasio direduksikan kepada rasio instrumental, pertanyaan tentang kehidupan yang baik dan adil hilang sama sekali. Dengan menanyakan syarat kemungkinan bagi rasio komunikatif ia ingin memberi perhatian baru kepada dimensi etis-politis ini. Sudah kita lihat bahwa normativitas merupakan sebuah tema penting bagi Habermas. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa postmodernisme tidak mengenal norma atau berpendapat bahwa segalanya diperbolehkan saja. Kalau begitu, postmodernisme bisa terjerat dalam norma efisiensi dari masyarakat tekno-ilmiah yang justru ditolak olehnya. Lyotard menganggap norma etis-politis tetap penting, terutama ketidakadilan. Hal itu sudah tampak dalam buku Kondisi Postmodern. Setelah ia menolak consensus dalam arti Habermas dengan menandaskan Konsensus telah menjadi suatu nilai yang kolot dan perlu dicurigai, ia melanjutkan: Tetapi keadilan sebagai suatu nilai tidak kolot dan juga tidak perlu dicurigai. Karena itu kita harus sampai pada suatu pengertian dan praktek keadilan yang tidak terikat dengan pengertian consensus.

Dalam karangan-karangan lain Lyotard mendalami lagi perlunya keadilan. Secara khusus ia menolak totalitarianisme sebagai suatu bentuk masyarakat yang tidak etis. Bagi Lyotard, totalitariansime merupakan akibat dari pemikiran yang berkiblat pada kesatuan dan totalisasi. Hasilnya adalah teror. Abad kesembilan belas dan kedua puluh telah memberikan kita teror sebanyak yang dapat kita tamping. Kita telah membayar harga cukup mahal untuk nostalgia akan keseluruhan dan kesatuan… Habermas juga dengan tegas menolak totalitarianism dan melihatnya pula sebagai salah satu kejahatan terbesar di zaman kita. Tetapi ia menganggapnya disebabkan oleh rasionalitas instrumental. Melalui diskursus rasional yang komunikatif ia justru mengharapkan memajukan demokrasi dalam arti yang sebenarnya.

Mungkin catatan-catatan singkat ini sudah cukup untuk memupuk dugaan bahwa kedua pemikir besar ini tidak bertentangan begitu saja. Dari suatu sudut pandang tertentu, baik titik tolak maupun hasil terakhir pemikiran mereka tidak bertolak belakang, tapi justru sejalan.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini

 
Sumber.

Bertens, Kees. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta. Gramedia

Baca Juga
1. Jean Francois Lyotard. Biografi dan Karya
2. Jean-Francois Lyotard. Berpikir Bersama Kant 
3. Lyotard dan Postmodernisme
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Jean Francois Lyotard. Diskusi dengan Habermas"