Emmanuel Levinas
Table of Contents
Emmanuel Levinas |
Dari riwayat hidupnya, pemikiran filosofis Levinas terutama mempunyai tiga sumber: tradisi Yahudi, seluruh sejarah filsafat Barat, dan pendekatan fenomenologis. Marilah kita memandang ketiga sumber ini satu persatu. Pertama yang memberi warna paling khas kepada filsafat Levinas ialah bahwa pemikiran ini dijiwai oleh suatu inspirasi Yahudi. Levinas adalah orang Yahudi yang alim, dibesarkan—menurut kesaksiannya sendiri—dengan alkitab Ibrani. Ia hidup dalam zaman yang menyaksikan pembaruan semangat religius Yahudi dalam abad ke-20, yang ditingkatkan lagi ketika orang Yahudi mulai diusir dari Eropa, khususnya dari Jerman, pada tahun 30-an. Karena merasa terdesak, mereka spontan kembali ke sumber-sumber Yudaisme yang asli dan berusaha memperoleh kembali identitasnya. Dalam konteks ini dapat kita teringat juga akan gerakan zionisme. Dalam renaissance Yahudi abad ke-20 ini filsafat tentu tidak absen.
Dua filsuf Yahudi yang memainkan peranan penting dalam gerakan pembaruan itu adalah Martin Buber dan Franz Rosenzweig. Terutama buku Rosenzweig stern der Erlosung (Bintang Penebusan) sangat mendalam mempengaruhi Levinas. Pada awal Totalitas dan Tak Berhingga ia mengatakan bahwa karya Rosenzweig itu tidak dikutip eksplisit olehnya, karena kehadirannya terasa dalam seluruh buku.
Kedua, kita sudah melihat bahwa Levinas menulis dua macam karangan: karangan-karangan religius dan karangan-karangan filosofis. Dua macam karangan ini harus dibedakan, tetapi tidak selalu dapat dipisahkan. Yang jelas ialah bahwa dalam karangan-karangan filosofisnya Levinas sungguh-sungguh berbicara sebagai filsuf dan bukan sebagai teolog. Ia memang mengemukakan simbol-simbol dan gagasan-gagasan Yahudi, tetapi dengan maksud agar melalui jalan itu dapat dibuka dimensi-dimensi baru untuk menerangi eksistensi manusia secara filosofis. Pernah ia menggambarkan usahanya sebagai menerjemahkan kebijaksanaan Yahudi ke dalam bahasa Yunani. Dengan itu ia memaksudkan keinginannya untuk merumuskan pengalaman religius Yahudi pada taraf rasional. Dalam karya-karya filosofisnya tidak pernah ia menggunakan Kitab Suci Yahudi sebagai otoritas dan jarang saja Kitab Suci itu dikutip eksplisit. Yang banyak disebut dalam Totalitas dan Tak Berhingga dan karya-karya filosofis lainnya ialah nama-nama para filsuf. Sebenarnya filsafat Levinas merupakan diskusi dengan seluruh sejarah filsafat Barat, dari Plato sampai dengan Heidegger. Beberapa kali akan kita lihat lagi bahwa ia mengemukakan kritik tajam atas tradisi filsafat Barat, tetapi kritik di sini tidak sama dengan membuang atau mengesampingkan begitu saja.
Ketiga, Levinas adalah seorang fenomenolog. Kita sudah mendengar bahwa ia belajar antara lain di Freiburg pada pendiri fenomenologi sendiri, Husserl, dan pada orang yang waktu itu masih dianggap nomor dua dalam gerakan fenomenologis, Heidegger. Bukunya yang besar Totalitas dan Tak Berhingga tidak dapat dibayangkan terlepas dari fenomenologi. Pada awal bukunya ia mengatakan: The presentation and the development of the nations employed owe everyting to the phenomenological method. Intentional analysis is the search for the concrete [Dalam cara penyajian maupun pengembangan gagasan-gagasan ini kami sangat berhutang budi kepada metode fenomenologis. Analisa intensional adalah mencari yang konkret]. Jadi, metode Levinas disini adalah metode fenomenologis dan dalam bukunya kita jumpai banyak deskripsi fenomenologis yang bagus sekali. Dan sebagaimana kentara dalam wawancara-wawancara dalam Etika dan Tak Berhingga (1982), pada umur yang sudah tua ia masih tetap menghargai pendekatan fenomenologis, khususnya dalam meneliti eksistensi konkret. Tetapi dengan itu tentu belum terjawab pertanyaan apakah filsafat Levinas boleh disamakan begitu saja dengan fenomenologi. S. Strasser, professor Belanda asal Austria yang mengenal baik sekali fenomenologi Husserl maupun pemikiran Levinas, sampai pada kesimpulan bahwa Levinas tidak termasuk fenomenologi dalam arti kata yang tradisional. Fenomenologinya—katanya—adalah suatu fenomenologis dengan membuka suatu dimensi baru.
Menurut pendapat Levinas, intisari fenomenologi adalah ajaran tentang intensionalitas. Dengan ajaran itu Husserl memperbaharui titik tolak yang ditunjukkan Descartes bagi filsafat modern, yaitu kesadaran. Descartes telah mengerti kesadaran itu sebagai terpisah dari realitas. Dengan ajarannya tentang intensionalitas Husserl menekankan bahwa kesadaran berarti sadar akan sesuatu; kesadaran selalu bersifat intensional. Dan intensionalitas ini tidak merupakan salah satu ciri kesadaran, melainkan kodrat kesadaran itu sendiri. Tetapi sudah dalam disertasinya tentang teori intuisi pada Husserl ia mengemukakan kritik. Inti kritiknya ialah bahwa dalam ajaran Husserl tentang intensionalitas terdapat suatu konsepsi terlalu intelekstualistis tentang intuisi. Oleh Husserl intensionalitas disamakan dengan sikap teoretis saja. Beberapa murid Husserl telah berusaha mengatasi intelektualisme itu, khususnya Scheler dan Heidegger. Levinas juga ingin menerapkan intensionalitas dibidang non-teoritis, yaitu relasi etis.
Pada Heidegger—dan terutama dalam bukunya Ada dan Waktu—dapat dihargai bahwa ia membelokan intensionalitas ke arah suatu ontologi baru: suatu filsafat tentang Ada. Levinas mengikuti Heidegger dalam hal ini. Tetapi sudah dalam buku kecil De l’existence a l’existant ia merumuskan kritiknya. If at the beginning our reflections are in large measure inspired by the philosophy of Martin Heidegger; whrer we find the concept of ontology and of the relationship which man sustains with Being, they are also governed by a profound need to leave the climate of that philosophy, and by the conviction that we cannot leave it for a philosophy that would be pre-Heideggerian. The concept which appears to preside over the Heideggerian interpretation of human existence is that of existence conceived as ectasy—which is only possible as an ectasy toward the end (Pada permulaannya refleksi-refleksi kami ini sebagian besar menimba inspirasinya dari filsafat Martin Heidegger. Di situ ditemukan suatu konsepsi tentang ontologi dan tentang hubungan yang dijalin manusia dengan Ada. Tetapi refleksi-refleksi kami ditandai juga dengan kebutuhan untuk meninggalkan suasana pemikiran Heidegger itu, biarpun tetap yakin bahwa pemikirannya tidak mungkin ditinggalkan untuk beralih ke suatu filsafat pra-Heideggerian. Rupanya pengertian dominan yang menguasai interpretasi Heidegger tentang eksistensi manusiawi adalah eksistensi dipahami sebagai ekstasis. Nah, hal itu hanya mungkin sebagai ekstasis sampai titik penghabisan).
Dikemudian hari kritik atas Heidegger—maksudnya sekarang Heidegger II yang sudah hampir tidak ada hubungan lagi dengan fenomenologi—menjadi lebih tajam lagi, sampai-sampai buku Totalitas dan Tak Berhingga pernah dicap sebagai anti-Heidegger. Kritik levinas itu tentu cukup kompleks, tetapi sebagai intinya kiranya dapat dianggap bahwa Ada pada Heidegger terlalu anonym. Seperti halnya dengan Heidegger dari Ada dan Waktu, di sini juga kekurangan pokok ialah tiadanya dimensi etis yang begitu hakiki bagi Levinas. Tentu saja, Levinas juga kecewa sekali tentang sikap yang diambil Heidegger terhadap nasional-sosialisme. Pada tahun 1982 ia masih menandaskan tidak dapat melupakan keterlibatannya dalam nasionalisme-sosialisme dan berpendapat bahwa dalam hal ini Heidegger tidak mungkin dilepaskan dari kesalahan.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Emmanuel Levinas. Biografi
2. Emmanuel Levinas. Metafisika tentang Yang Lain
Post a Comment