Elemen-elemen Modernitas

Table of Contents
Elemen-elemen Modernitas
Modernitas
Istilah modernitas merupakan substansiasi kata sifat modern (dalam bahasa Latin moderna), yang artinya adalah saat kini, atau sering juga persis searti dengan baru. Dalam polemik itu, konsep modernitas diartikan baik sebagai konsep waktu (zaman baru) maupun sebagai konsep epistemis (kesadaran baru). Secara epistemis, modernitas itu terdiri atas empat elemen pokok. Pertama, subjektivitas yang reflektif, yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kedua, subjektivitas yang berkaitan dengan kritik atau refleksi, yaitu kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah. Ketiga, kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, progresif, unik, tak terulangi, dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber yang langka. Sebab itu, modernisme memiliki kata-kata kunci: revolusi, evolusi, transformasi, Zeit-geist, dan seterusnya. Artinya, kebaruan itu mungkin. Dengan singkat, modernitas mendukung rasionalitas (lebih dari wahyu), kritik (lebih dari sikap naif), dan progres (lebih dari pemeliharaan tradisi).

Ada elemen keempat yang mendasari tiga yang lain, yaitu universalisme. Dengan itu dimaksudkan bahwa elemen-elemen modernitas itu bersifat normatif untuk segala masyarakat yang mau melangsungkan modernisasi. Secara historis sifat normatif ini diaktualisasikan dalam gerakan humanisme Renaisans abad ke-16 dan perkembangan sains dan teknologi yang sangat menentukan gerakan-gerakan Pencerahan abad ke-18 di Eropa. Dengan modernisasi, kebenaran wahyu diuji di hadapan rasionalitas, legitimasi kekuasaan dipersoalkan melalui kritik, dan kesahihan tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Sejak suatu masyarakat melangsungkan modernisasi, masyarakat itu kehilangan sikap naifnya, dan melibatkan diri pada suatu proyek sejarah universal untuk mencapai tujuan tertentu di masa depan. Bahwa elemen-elemen itu bersifat universal, dapat kita buktikan dalam proyek modernisasi masyarakat kita sendiri, mulai dari pergerakan nasional (penemuan subjektivitas), revolusi kemerdekaan (kritik), dan era pembangunan (progres).

Apakah keempat elemen tersebut diwujudkan tanpa ekses yang tidak diharapkan? Pertanyaan ini dijawab negatif oleh para pemikir posmodernisme. Untuk memahami reaksi mereka, kita perlu lebih dulu memahami apa yang sejak Weber disebut rasionalisasi (Rationalisierung). Modernisasi adalah suatu rasionalisasi, yaitu perluasan rasionalitas ke segenap sektor kemasyarakatan, sebagaimana tampak dalam birokratisasi dan kapitalisasi. Posmodernisme marah terhadap apa yang sejak Lyotard disebut Grandnarrative ini, karena wataknya yang bukan hanya universalistis, melainkan juga totaliter. George Bataille mengkritik rasionalisasi tak kurang sebagai homogenisasi, dan Foucault menyingkapkannya sebagai praktek kuasa untuk mengekslusi mereka yang tidak rasional. Karena itu, rasionalisasi adalah represi totaliter yang tersentralisasi dan tidak mengizinkan pluralisme serta mengeliminasi heterogenitas. Ekses itu secara historis terbukti dalam proyek Stalinisme, Nazisme, Fasisme, tetapi juga teknokratisme, yang menyingkirkan pluralisme pendapat. Singkatnya, ekses itu adalah totalitarianisme gaya baru (gaya lama; totalitarianisme agama).


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment