Dialektika Pencerahan (Dialektika der Aufklarung)
Table of Contents
Dialektika der Aufklarung |
Karya Mazhab Frankfurt; Max Horheimer dan Theodore W. Adorno
Paling penting dari Dialektika der Aufklarung (Dialektika Pencerahan) adalah ulasan Horkheimer dan Adorno tentang sejarah rasionalitas manusia yang menemui momen puncaknya pada Pencerahan Eropa (Enlightenment). Mereka menganggap bahwa pencerahan akal budi manusia telah menimbulkan banyak kerugian daripada kebaikan bagi manusia, manusia kembali terbelenggu dalam rasionalitas jenis ciptaannya sendiri, mitos telah menimbulkan pencerahan dan pencerahan menjadi mitos kembali. Demikian asumsi dasar dari karya mereka tersebut yang apabila kita bandingkan dengan pendapat-pendapat kalangan Neo-Marxis lainnya (New-Left), khususnya yang bermunculan menyertai kondisi aktual era 1930-1940-an, sesungguhnya memiliki banyak kesamaan yang cukup signifikan, misalnya Lukacs menyebut kondisi ini sebagai reifikasi, dan Adorno sebagai administrasi total, Marcuse sebagai manusia dengan kesadaran satu dimensi. Kemudian di era 1970-an dengan rantai kontinuitas yang hampir mirip, misalnya dalam bentuk pemaparan cukup baik dalam menggambarkan kondisi tersebut dari seorang Neo-Marxis asal Polandia Leszeck Kolakowsky yang disampaikan dalam rangka peringatan hari ulang tahun ke-40 Lembaga Filsafat dan Sosiologi Polandia (Polish Academy of Sciences Institute of Philosophy and Sociology), bahwa, Manusia hari ini dipaksa harus bertahan di tengah-tengah chaos yang membingungkan, setelah mereka mengorbankan keyakinan dan kepercayaannya pada tonggak-tonggak mutlak dan maha sempurna demi pemikiran rasionalitas mereka... inilah dunia pasca Pencerahan (Post-Enlightenment) di mana pencerahan berbalik melawan dirinya sendiri. Nalar telah lenyap, sebagai konsekuensi logis dari kemenangan dan kejayaan nalar atas non-nalar mentalitas arkhaik (kuno). Horkheimer dan Adorno di satu sisi menyebutkan tentang kemajuan-kemajuan dan pencapaian ekonomi masyarakat yang cukup mengagumkan, namun di sisi lain mereka menyayangkannya. Kemajuan ekonomi dan teknologi bagi kemudahan-kemudahan hidup manusia sesungguhnya menyimpan bahaya bagi kerusakan yang lebih fatal. Manusia telah terjebak dalam dilema baru, dilema yang disebabkan oleh kemajuan-kemajuannya sendiri. Demikian Adorno menyebutkan kondisi tersebut sebagai Dialektika Negatif, dialektika kemajuan manusia yang berbalik arah mengancam kediriannya sendiri. Sementara itu, akibat dari pencapaian fantastis manusia untuk kemudahan-kemudahannya yang berbahaya tersebut, telah menghilangkan sama sekali otonomi individu, manusia telah kehilangan nalar kritisnya untuk mensikapi hidupnya yang hampir menuju kehancuran tersebut. Sehingga kondisi tersebut hampir dapat dipastikan luput dari perhatian individu sendiri. Sebaliknya, individu malah bahwa kondisi destruktif, permainannya yang berbahaya tersebut merupakan kewajaran atau konsekuensi dari kemajuan yang berhasil diraihnya. Horkheimer dan Adorno menggambarkan tentang manusia yang lupa diri, kebudayaan kacangan yang ditandai oleh mobilisasi massa yang tanpa bentuk dan kesadaran, bahkan untuk hanya menjaga otonomi atas dirinya sendiri.
Apabila kita perhatikan, kritik mereka mengenai nalar manusia tersebut, mirip dengan kritik Kant terhadap Nalar Empiris Hume dan rasionalisme Cartesian, nalar yang hanya satu dimensi. Demikian pula proyek historis yaitu berupa komitmen untuk menjajagi kemungkinan sejarah pencerahan dan perkembangan nalar sangat mirip dengan proyek historisisme yang telah berakar kuat dalam tradisi pemikiran Jerman pada umumnya, di mana hal ini telah dimulai sejak kritik ide sejarah dan asumsi tentang Gesiteswissenscaften bagi verstehen-nya William Dilthey. Kemudian meminjam konsep Dialektika Perkembangan Hegel dan Kritik Materialnya Marxis.
Demikian mereka menyebutkan bahwa masyarakat industri maju sesungguhnya tidak menghilangkan kekerasan di dalamnya, seperti halnya Marx tentang penderitaan kaum buruh dan papa, masyarakat industri modern ditandai oleh represi tanpa ampun, kekerasan yang memiskinkan dan menyebabkan penderitaan mental manusia. Kekerasan dalam bentuk apa, apanya yang direpresi, bukankah kekerasan atau represi itu sendiri telah hilang seiring pencapaian ekonomi dan kemudahan hidup manusia? Horkheimer dan Adorno menjawab pertanyaan tersebut dengan memakai istilah Timbunan Libido, Analisis Libidal dari psikoanalisanya Sigmund Freud, yakni manusia tanpa aktivitas spontan, manusia yang jauh dari keinginan alamiahnya, sampai pada titik ini, kita akan teringat pada The Jeuwis Question-nya (1843) Marx, asumsi estetik yang tidak murni, namun menyembunyikan kemunafikan dan hasrat akan kebutuhan materialnya semata, feitisme komoditas, yakni berupa keindahan, kedalaman dan segenap misteri kehidupan manusia yang terkomoditaskan.
Demikian, kondisi yang menyakitkan akibat ancaman pemusnahan proyek Aryanisasi dan kengerian Auschwitz, memaksa mereka untuk senantiasa berpindah tempat. Hal ini tentunya di satu sisi memiliki sudut yang positif, mereka dapat hidup dalam dua alam dengan kenyataan yang berlainan, namun menunjukkan kondisi yang hampir mirip yakni konsumsi masif dalam masyarakat liberal Amerika Serikat dan mobilisasi massa yang masif dalam masyarakat yang berada dalam cengkraman fasisme Hitler, sehingga pandangan atau sudut pandang mereka yang lebih luas selalu bergerak antara elemen makro dan mikro, demikian pula subjektif dan objektif, analisis antropologis dan sosiologis yang disatukan dengan nalar filsafat sesungguhnya telah membentuk jenis pemikiran yang hampir bisa dikatakan otentik, khas dan kontekstual adanya.
Sesuai dengan konteks kelahiranya, Dialektika Pencerahan dipengaruhi oleh pragmatisme Amerika Serikat, selain daripada kondisi latarbelakang intelektual Jerman dan kondisi sosial psikologis tokoh. Argumen tersebut dapat dimulai dari problem historisisme anti-platonis Dilthey yang pada giliranya banyak diadopsi oleh kaum relativisme pragmatis dan kaum multikultural Amerika Serikat (misal post-modernnya Richard Rorty), serta pemikiran idealis spekulatif Platonis, yang dalam kenyataannya merupakan karakter khas idealisme Jerman, kemudian, muncul sintesa baru, yakni kaum anti-anti Platonis yang memandang bahwa ide atau theoria yang dipraksiskan akan menimbulkan atau akan berakibat pada pembebasan atau emansipasi manusia. Demikian Teori Kritis Mazhab Frankfurt mengambil posisi yang terakhir, sehingga sesungguhnya ia memiliki ide-ide yang selangkah lebih maju dibandingkan kalangan post-modern lainnya.
Hal lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa ide-ide mereka mengenai otonomi manusia dalam kenyataannya malah banyak dipengaruhi oleh kaum fenomenologis dan eksistensialis (Husserl, Heidegger, Kierkegaard dan Scopenhauer). Apabila kita mencoba memperhatikan latar belakang atau konteks kehidupan intelektual dan kehidupan sosial psikologis mereka, asumsi atas otonomi dari individu maupun ide-ide mereka tentang solusi atas permasalahan yang ada sesungguhnya tidak mencerminkan kondisi realitas kelas sosial dan kehidupan ekonomi yang mereka tempati, namun lebih merupakan semacam kebosanan akan tingkah laku yang mekanistis masyarakat industrial modern, serta kenyataan tindak tanduk rasisme fasis Hitler, Stalin dan masyarakat Eropa pada umumnya ketika itu. Sehingga sebagai konsekuensi dari hal tersebut, mereka sering digolongkan sebagai Marxisme akademis yang malah mengusung sebuah pesimisme antropologis manusia.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Sumber.
Ramdani, Dani. 2005. Studi Komparasi antara Teori Karl Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt dalam Menganalisa Masyarakat Kapitalis. Skripsi. Universitas Lampung.
Post a Comment