Conformity dan Deviation
Table of Contents
Deviation |
Dalam masyarakat yang homogen dan tradisional, conformity masyarakat cenderung kuat. Hal tersebut dikarenakan tradisi yang sangat kuat, kaidah yang berlaku secara turun temurun sama saja dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa banyak mengalami perubahan. Ukuran-ukuran yang dipakai merupakan ukuran-ukuran yang telah dipakai oleh nenek moyangnya dahulu. Lagi pula, kaidah-kaidah dalam masyarakat tradisional tak begitu banyak corak ragamnya. Dalam masyarakat demikian, apalagi yang hubungannya dengan dunia luar kurang sekali, daya kreasi masyarakat sedikit sehingga tindakan-tindakan yang menyimpang dari tradisi, juga sangat kurang.
Masyarakat di kota lain keadaannya karena anggota-anggotanya selalu berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kotanya. Penduduk kota terdiri dari bermacam-macam manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda pula. Lagi pula kota merupakan pintu gerbang masuknya pengaruh-pengaruh dari luar. Maka, conformity di kota-kota (terutama kota-kota besar) juga sangat kecil sehingga proses institusionalisasi sukar terjadi apabila dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat di desa. Bahkan conformity di kota besar sering kali dianggap sebagai hambatan terhadap kemajuan dan perkembangan.
Deviation atau penyimpangan dalam masyarakat tradisional yang relatif statis tidak akan disukai. Deviation terhadap kaidah-kaidah dalam masyarakat yang tradisional memerlukan suatu keberanian dan kebijaksanaan tersendiri. Namun, apabila masyarakat tradisional tersebut merasakan manfaat dari suatu deviation tertentu, penyimpangan akan diterima. Biasanya proses tersebut dimulai oleh generasi muda yang pernah pergi merantau.
Robert K. Merton meninjau penyimpangan (deviasi) dari sudut struktur sosial dan budaya. Menurut Merton, di antara segenap unsur sosial dan budaya, terdapat dua unsur terpenting, yaitu kerangka aspirasi dan unsur-unsur yang mengatur segala kegiatan untuk mencapai aspirasi tersebut. Dengan kata lain, ada nilai-nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Juga ada kaidah-kaidah yang mengatur kegiatan-kegiatan manusia untuk mencapai cita-cita tersebut.
Nilai-nilai sosial budaya tadi berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku manusia di dalam hidupnya. Apabila terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut, maka terjadilah perilaku menyimpang atau deviant behavior. Jadi, perilaku yang menyimpang tadi akan terjadi apabila manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih mementingkan suatu nilai sosial budaya daripada kaidah-kaidah yang ada untuk mencapai cita-cita tersebut. Pudarnya pegangan pada kaidah-kaidah menimbulkan keadaan yang tidak stabil dan keadaan tanpa kaidah yang oleh Emile Durkheim dinamakan anomie.
Merton menyusun skema yang menggambarkan usaha-usaha warga masyarakat (secara perorangan) untuk menyerasikan dirinya dengan nilai-nilai sosial budaya dan kaidah-kaidah yang ada dalam masyarakat untuk mencapai nilai-nilai sosial budaya tersebut. Di antaranya adalah conformity, innovation, ritualism, retreatism, rebellion.
Conformity terdapat pada masyarakat-masyarakat yang secara relatif stabil.Cara-cara yang telah melembaga memberikan peluang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk mencapai nilai-nilai sosial budaya yang menjadi cita-citanya. Pada innovation tekanan terlampau diletakan pada nilai-nilai sosial budaya yang pada suatu saat berlaku, sedangkan warga masyarakat merasakan bahwa cara atau kaidah-kaidah untuk mencapai tujuan tersebut kurang memadai. Suatu contoh nyata dapat diambil dari suku-suku bangsa di Indonesia yang masih mempunyai tradisi menentukan mas kawin yang sangat tinggi di dalam perkawinan. Nilai sosial budaya tersebut tidak selaras dengan kaidah-kaidah yang ada dalam masyarakat untuk mendapatkan mas kawin tersebut sehingga timbullah perilaku menyimpang, yaitu dengan adanya lembaga kawin lari. Nilai sosial budaya semacam itu menimbulkan orientasi terhadap perbuatan-perbuatan yang mengandung risiko karena terjadi kekecewaan-kekecewaan yang diderita sebagai akibat tidak tercapainya aspirasi-aspirasi yang ada.
Ritualism terjadi pada warga masyarakat yang berpegang teguh pada kaidah-kaidah yang berlaku, walaupun harus mengorbankan nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berlaku. Retreatism terjadi apabila nilai-nilai sosial budaya yang berlaku tak dapat tercapai melalui cara-cara yang telah melembaga. Akan tetapi, para warga masyarakat mempunyai kepercayaan yang demikian dalamnya sehingga mereka tidak mau menyimpang dari norma-norma yang telah melembaga. Oleh karena itu, konflik yang timbul dalam diri masing-masing individu dihilangkan dengan jalan meninggalkan, baik nilai-nilai sosial budaya maupun cara-cara untuk mencapainya, dengan jalan menarik diri. Hal tersebut terlihat pada sikap apatis terhadap keadaan sekarang karena terlampau mengagung-agungkan masa lampau. Pada rebellion, semua nilai sosial budaya maupun kaidah-kaidah yang berlaku ingin diubah semua untuk diganti dengan hal-hal yang sama sekali baru.
Deviation mungkin berwujud sebagai pengecualian atau penyelewengan. Di dalam hal terjadinya pengecualian, penyimpangan yang terjadi diberikan pembenaran, tetapi pada penyelewengan telah terjadi suatu delik. Suatu delik merupakan proses, di mana warga masyarakat gagal atau tidak mempunyai kemampuan untuk menaati nilai dan norma yang berlaku. Terjadinya deviation kadang-kadang dianggap sebagai pertanda bahwa struktur sosial perlu diubah. Hal ini merupakan suatu petunjuk bahwa struktur yang ada tidak mencukupi dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan yang terjadi.
Halnya telah di paparkan dalam materi tentang penyimpangan sosial, bahwa bisa jadi suatu hal dikatakan menyimpang di suatu tempat, belum tentu demikian di tempat yang lain. Dengan demikian, kalangan ilmuwan kadang menyebutkan bahwa sesuatu yang dikatakan menyimpang berdasarkan nilai-nilai yang berlaku di dalam suatu kelompok. Mereka menerima nilai-nilai itu sebagai tolok ukur untuk mengadakan evaluasi.
Demikian, ada beberapa rumusan tentang penyimpangan. Rumusan yang paling sederhana bersifat statistik karena yang dianggap menyimpang adalah setiap hal yang terlalu jauh dengan keadaan normal (rata-rata). Dengan kata lain, segala sesuatu yang tidak sama dengan yang lazim terjadi merupakan penyimpangan. Dalam hal ini, seorang yang kidal merupakan penyimpangan karena kebanyakan orang secara umum lebih banyak menggunakan tangan kanannya.
Pandangan yang lain menganggap penyimpangan sebagai sesuatu yang bersifat patologis. Artinya, ada suatu penyakit. Pandangan ini dilandaskan pada analogi dengan ilmu kedokteran. Pandangan berikutnya merumuskannya berdasarkan anggapan bahwa penyimpangan merupakan hasil keadaan sakit jiwa. Sikap tindak seorang homoseksual atau pencandu obat-obat bius merupakan perwujudan keadaan mental yang sakit.
Beberapa sosiolog juga menggunakan model penyimpangan yang didasarkan pada pandangan medis mengenai kesehatan dan penyakit. Mereka menelaah masyarakat atau bagian tertentu dari suatu masyarakat dan mempermasalahkan apakah terjadi gangguan terhadap stabilitas yang menurunkan ketahanan masyarakat tersebut. Apabila ada gangguan, proses demikian dianggap sebagai suatu penyimpangan atau disorganisasi sosial.
Pandangan sosiolog lainnya lebih relatif. Mereka menganggap bahwa sikap tindak menyimpang merupakan kegagalan mematuhi aturan-aturan kelompok. Kelompok merumuskan aturan-aturan dan berusaha menegakkannya. Berdasarkan tolok ukur itu, akan dapat ditentukan apakah seorang anggota kelompok melanggar aturan sehingga dianggap sebagai menyimpang.
Ket. klik warna biru untuk link
Download di Sini
Materi Sosiologi SMA
1. Materi Sosiologi Kelas X. Bab 5. Perilaku Menyimpang (KTSP)
2. Materi Sosiologi Kelas X. Bab 3. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum 2013)
3. Materi Sosiologi Kelas X Bab 3.3 Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
4. Materi Ujian Nasional Kompetensi Penyimpangan dan Pengendalian Sosial
Post a Comment