A Mirror On The Wall: Representasi

Representasi
A Mirror On The Wall
Untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks media (termasuk iklan) dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Secara semantik, representasi bisa diartikan to depict, to be a picture of, atau to act or speak for (in the place of, in the name of) somebody. Berdasarkan kedua makna tersebut, to represent bisa didefinisikan sebagai to stand for. Ia menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang direpresentasikan tapi dihubungkan dengan, dan mendasarkan diri pada realitas tersebut. Jadi, representasi mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya.

Istilah representasi sendiri sebetulnya memiliki dua pengertian sehingga harus dibedakan antara keduanya. Pertama, representasi sebagai sebuah proses sosial dari representing, dan yang kedua, representasi sebagai produk dari proses sosial representing. Istilah yang pertama merujuk pada proses, sedangkan yang kedua adalah produk dari pembuatan tanda yang mengacu pada sebuah makna. Dalam proses representasi, ada tiga elemen yang terlibat, pertama, sesuatu yang direpresentasikan yang disebut sebagai objek, kedua, representasi itu sendiri yang disebut sebagai tanda, dan yang ketiga, seperangkat aturan yang menentukan hubungan tanda dengan pokok persoalan atau disebut coding. Coding inilah yang membatasi makna-makna yang mungkin muncul dalam proses interpretasi tanda.

Sesuatu yang sangat esensial dari sebuah tanda adalah ia bisa menghubungkan objek untuk diidentifikasi, sehingga biasanya satu tanda hanya mengacu pada satu objek, atau satu tanda mengacu pada sebuah kelompok objek yang telah ditentukan secara jelas. Dengan demikian, didalam representasi ada sebuah kedalaman makna. Representasi mengacu pada sesuatu yang sifatnya orisinal. Pada konsep representasi, citra-citra atau tanda-tanda dikonseptualisasikan sebagai representasi realitas yang dinilai kejujurannya, reabilitasnya, dan juga ketepatannya. Konsep representasi sendiri ada dua, yaitu true representation dan dissimulation atau false representation. Dissimulation ini menggunakan citra-citra dan ideologi-ideologi yang tersembunyi sehingga menimbulkan distorsi-distorsi. Namun dalam dissimulation, the real yang tersembunyi dibalik topeng-topeng yang menutupinya masih bisa dikembalikan lagi.

Representasi realitas dalam iklan sendiri sering dianggap sebagai representasi yang cenderung mendistorsi. Apalagi merujuk pendapat Marchand, iklan adalah cermin yang mendistorsi (a hall of distorting mirrors). Disatu sisi, iklan merujuk pada realitas sosial dan dipengaruhi oleh realitas sosial. Sedangkan disisi lain, iklan juga memperkuat presepsi tentang realitas dan mempengaruhi cara menghadapi realitas. Dengan kata lain, representasi realitas oleh iklan tidak mengemukakan realitas dengan apa adanya, tapi dengan sebuah perspektif baru.

Pendapat tersebut senada dengan beberapa asumsi tentang hubungan representasi media dengan realitas. Ada asumsi yang mengatakan bahwa representasi itu bukan realitas. Representasi bukanlah hasil dari proses seleksi dimana beberapa aspek realitas ditonjolkan dan beberapa aspek lainnya diabaikan. Representasi dianggap menggambarkan dunia sosial dengan cara yang tidak lengkap dan sempit. Meskipun kadang-kadang produk media yang sifatnya fantasi dan fiksi tetap berpotensi untuk mengajarkan pada audiens tentang masyarakat. Banyak program media yang merupakan fiksi ilmiah tentang masa depan, tapi dengan jelas berkomentar tentang kondisi-kondisi sosial pada waktu fiksi itu diciptakan.


Ket. klik warna biru untuk link

Download di Sini


Sumber.
Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "A Mirror On The Wall: Representasi"